Saat itu, ketika umurku masih 5 tahun. Aku dan adikku Hana menyiapkan baju bewarna merah dengan gambar banteng bermoncong putih, tentunya dengan ukuran yang pas ditubuh kecil kami. Kami menyiapkan diri, mencoba untuk tampil serba merah.
"kita akan ikut kampanye ibu mega" kata mama ku.
Lalu, kami bergegas untuk naik mobil kijang lama yang bewarna merah juga.
kalian mungkin berpikir, kenapa semuanya serba merah?
ya, kami sekeluarga cinta warna merah. Merah melambangkan semangat kata papaku.
Perjalanan cukup jauh, aku dan hana tertidur pulas hingga akhirnya sampai ke tempat tujuan. Waw, aku yang kecil ini mungkin bisa hilang jika tersesat pada ribuan manusia - manusia dengan baju moncong putihnya. Ada yang membawa bendera, ikat kepala, atau bahkan replika kepala banteng. Ramai.
Kemudian, satu yang membuatku takjub. Suara wanita yang dengan semangat berkobar bercerita, oh iya kalau sekarang aku baru sadar bahwa itu adalah kampanye. Semua yang menyaksikan dan mendengar berseru, "merdeka!!" dengan tangan kanan mengepal keatas langit.
Papa dengan antusiasnya berkata, "nak jingok ibu Mega dak mut?" , tapi itu pertanyaan basa-basi. Karena tanpa ku anggukkan kepala, papa tetap juga mengangkat tubuhku pada bahunya, agar aku melihat "ibu Mega" yang dimaksud. Kemudian pikiran polosku menangkap sesosok wanita yang berbicara diatas panggung dengan lantang dan tegas. Namun tidak ku pikirkan siapa dia, sekali lagi karena aku masih polos.
**
"mut, itu tadi yang nganter supir kau yo? aku jugo dianter supir. Papa kau DPR yo? mama aku jugo DPR nah, DPR apo papa kau"
Saat itu, kelas 1 SMP aku dihujani pertanyaan oleh seorang teman yang tak pernah ngobrol denganku sebelumnya. Aku ingat sampai sekarang. Temanku itu jadi baik kepada ku karna dia tahu aku anak DPR, bahkan dia pun bertanya-tanya tentang gaji papaku. Aku bingung menjawabnya, karena aku memang tidak tahu! untuk apa kutanyakan itu, tidak penting rasanya. Aku bilang tidak tahu. Kemudian lagi lagi temanku ini pamer dengan anting - anting dari mamanya yang beli di luar negeri, Singapura.
Oh, ini membosankan sekali. Jadi dia berteman denganku cuma karena jabatan papa? ah, cepat-cepat kutinggalkan dia dengan berbagai alasan. Sejak itu aku selalu menjaga jarak agar tidak ngobrol terlalu lama dengan temanku itu, karena obrolannya selalu mengarah ke uang, luar negeri, dan kemewahan.
Kusampaikan rasa kecewa itu pada nenekku (almarhum).
Pesan beliau, "nyari kawan tu dak boleh milih-milih. Jangan gara-gara wong tuonyo kayo, jadi bekawan. Lemaklah kito belajar susah mut, daripada belajar hidup kayo karna kalo hidup kayo tu mudah karna lemak tinggal ongkang kaki, tapi kalo dak belajar susah pacak tekejut gek kalo roda hidup beputer kebawah. tapi bukan berarti nyuruh jadi wong susah.."
Aku mau teman yang berteman karena aku, bukan karena orang tuaku. Aku mau jadi Mutia yang sederhana dan rendah hati yang dicintai teman-temannya.
sejak itu, aku takut ada yang tau pekerjaan papaku..
**
Setiap hari papa menonton berita tvri, TPI, Metro TV. Lalu langganan koran Sripo, Kompas, dan Palpos. Kemudian berita - berita dikoran sering menampilkan wajah papa, lalu pernah waktu itu masuk ke salah satu tv nasional RCTI disekmen berita, papa pun ikut andil dalam proyek fly over patal palembang yang sampai sekarang di nikmati bersama warga Palembang. Papa juga pernah mencalonkan diri menjadi Wakil Wali kota berdampingan dengan Ir. Sarimuda. Masa - masa itu papa begitu sibuk rapat, keluar kota, dan tidak ada waktu bersamaku.
Waktu siang itu, kulihat nenek ngobrol dengan papa diselangi air mata..
"gan, aku takot nian.. di TV tu mama jingok banyaaak nian wong yang korupsi. Apolagi DPR, jangan nian yo gan kau korupsi. Mama dak ridho.. ingetkelah.."
Papaku ikut meneteskan air matanya, "io mama tu pecayo bae ..""
aku yang menyaksikan itu sedikit luluh. Bagaimana tidak, setiap aku mendengarkan seorang guru agama di SMP dulu, selalu disebutkannya anggota DPR itu suka korupsi. Apalagi yang bertubuh gendut, jujur aku selalu tersinggung, karena papaku juga termasuk orang bertubuh gendut. Bahkan aku sempat berpikiran negatif pada papaku sendiri. Tapi tidak, setelah hari itu. Ketika kusaksikan langsung bagaimana papaku meyakinkan nenek, ketika papaku mengatakan memang banyak yang korupsi tapi tidak semua anggota DPR seperti itu. Sejak hari itu, siapapun yang mengatakan DPR pasti korupsi, aku selalu berkata dalam hati "itu orang lain, tapi bukan papaku"
**
Masa jabatan 5 tahun beliau selesai.
Dengan basik ilmu teknik sipil, papa ku kembali lagi pada pekerjaannya dahulu yakni seorang kontraktor. Pergi ke wilayah pembangunan yang berada di pelosok. Namun pekerjaan ini tidak lagi disukainya. Di sela-sela makan bersama, papa ku bercerita tentang kekesalannya terhadap kecurangan bawahannya, para tukang bangunan. Tukang - tukang usil itu suka menyimpan bahan dan dijual lagi, tukang bangunan usil itu juga mencampurkan bahan dengan kualitas rendah. Belum lagi hujan yang menyebabkan pekerjaannya tak kunjung selesai.
Lalu kulihat,
Setiap pagi papaku selalu menonton acara Metro tv, kadang ikut berkomentar. Ini benar - benar papaku. Kemudian hari-hari beliau disibukkan dengan menonton berita dan bersih-bersih halaman.
**
Semangat nasionalisme papaku mulai bangkit kembali. Ia berniat mencalonkan diri lagi untuk posisi DPRD Provinsi. Sudah banyak sekali mantan anak buahnya yang ke rumah untuk mendukung papa. Walaupun untuk mencalonkan diri butuh modal dana yang cukup besar, papa ku berniat untuk dapat menjadi anggota DPR lagi. Bila ada kemauan, pasti akan ada jalannya, itu kata papa.
Baleho, kalender, kartu nama, dan stiker dibuat seadanya. Tidak dalam jumlah yang banyak, satu lagi itu karena uang kami yang pas-pasan. Tim - tim dari keluarga mulai dibentuk, kolega - kolega lama kembali dikumpulkan.
Pernah, suatu ketika papa bercerita tentang orang yang memintanya uang dengan jumlah puluhan juta, untuk menjadi tim suksesnya. Papa cuma mengatakan, "aku dak makso kau jadi tim sukses, aku perlu bantuan yang ikhlas. Aku idak punyo banyak duet, karno aku bukan nak beli jabatan. wong yang galak ngasih banyak tu cuma sekali ngasih, kagek bakal lupo. Kalo aku idak, aku bakal catet namo samo alamat kau, dak bakal aku lupo kalo sudah jadi."
Hari - hari menjelang pemilu Rabu, 9 April 2014 semakin dekat.
Setiap pagi papa mencatat daftar nama-nama pendukungnya, menghadapi tamu - tamu yang ingin berkenalan dengannya. Setiap siang papa hilir mudik menjumpai orang - orang di kecamatan Ilir barat I, ilir barat II, Sebrang ulu I, Sebrang ulu II, kertapati, plaju, dan gandus. Setiap malam datang tamu yang berdatangan mengajukan diri untuk ikut mendukung. Setiap yang akan mendukung, semuanya dicatat papa dengan tangannya sendiri. Kulihat juga sholat papa semakin membaik, tak ada lagi penundaan waktu ketika azan berkumandang. Bahkan kulihat buku tuntunan sholat hajad sudah berada dikamarnya. Subhanallah.. begitu gigihnya papaku demi mencapai cita-citanya.
Disela - sela banyaknya baleho yang semakin membanjiri kota ini dan banyak orang yang mensenjatakan uang dalam strategi mencapai jabatannya.
Papaku, punya strategi tersendiri. yaitu Pendekatan.
Mungkin kalian pasti berpikir bahwa catatan itu termasuk salah satu cara berkampanye.
iya, aku tidak memungkiri hal itu.
aku hanya ingin kalian juga mengenal papaku, papa yang ku banggakan. Papa yang membuatku bersemangat berprestasi agar namaku bisa ikut terkenal tanpa membawa namanya. Papa yang visioner dalam ide - ide terbaiknya untuk kota ini. Yang nantinya dapat menjadi wakil rakyat yang merakyat untuk kota ini, untuk Indonesia. Nomor 4 dari partai 4 PDI-Perjuangan
Semua ceritaku ini belum lengkap, bila ku ceritakan semua tentang papaku. Ini hanya garisbesarnya, karena aku sering menangis jika menceritakan ini. Jiwa nasionalisme itu turun dari kakek dan papaku :')
Jika kalian ingin kenal dan ikut membantu papaku dalam pemilihan ini, datang saja kerumah karena kami akan menyambut kedatangan kalian.
Papaku,
Ir. H. A.Lagan, MM fighting!!!!