Kamis, 11 Februari 2016

[Tugas-NOVEL] Gejolak Perairan Tenang




KUKUURUYUUKKK…
Kukuuruuyuk….

Seperti biasa suara ayam jantan membangungkan Tia dari tidurnya. Terlihat matahari telah menyinari sisi-sisi jendela kamarnya. Tak lama Tia berdiam diri di tempat tidurnya, kemudian ia beranjak dari tempat tidur tersebut. Dengan melihat jam yang hampir setengah tujuh. Tia langsung bergegas ke kamar mandi.

“Aduhhh,, pasti telat ini” kata Tia sambil membawa handuk nya.

Tia merupakan seorang mahasiswa kesehatan masyarakat di perguruan tinggi negeri Universitas Diponegoro, Semarang. Sekarang Tia telah menempuh dua semester di perguruan tinggi tersebut. Tia termasuk dalam urutan keluarga yang sangat-sangat bahagia versi teman-temannya. Ia mempunyai orang tua dan satu orang kakak laki-laki. Ayahnya merupakan seorang pengusaha besar yang mempunyai perusahaan dalam bidang kertas sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa yang bertugas mengurusi keluarga. Sedangkan kakak laki-lakinya, Rendi, baru saja lulus dalam perguruan tinggi negeri tempat Tia kuliah.

Blamm,,.

Suara pintu kamar mandi dibanting dan saat itu pula keluarlah seorang Tia dari tempat yang menyejukkan tersebut. Tak lama setelah Tia keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Tia mendengar suara teriakan.

“Tia cepat !!!”

Ternyata itu suara mama yang memanggilnya. Tia pun langsung membalas teriakan mamanya dengan nada yang lebih tinggi
“Tunggu sebentar ma..!

Bersamaan dengan teriakan itu pula Tia langsung bergegas berpakaian dan memasukkan buku-buku yang akan di bawa nya untuk kuliah. Harus cepat,  kata Tia dalam hatinya.

Selesai ia berpakaian serta membereskan tempat tidur nya, Tia bercepat-cepat keluar dari kamar peristirahatan. Dengan langkah cepat Tia turun tangga, tetapi karena terlalu cepat menuruni tangga tersebut. Ia hampir tergelincir, untung saja Tia kuat memegang pegangan pada tangga tersebut, sehingga ia dapat berdiri tegak lagi. Tia tidak mau mengulangi keselahan yang sama untuk kedua kalinya. Lalu ia berjalan dengan hati-hati menuruni tangga itu.
Sesampainya di ruang makan. Terlihat papa, mama dan kakaknya Rendi sedang menunggu Tia untuk sarapan.

“Pagi pa, ma…!” sapa Tia ceria.
“Pagi sayang..” jawab orang tuanya kompak.
Mama nya pun menyambung pembicaraan,
“Tuh kan, udah mama bilangin. Jangan suka males bangun. Gini kan jadinya” kata mama Tia sembari mengoleskan selai pada roti untuk sarapan Tia pagi hari.

“Aduh, Mama. Biasalah ma, anak kuliahan ini banyak yang harus dikerjain tugasnya..” jawab Tia dengan sedikit senyuman.

Seperti biasa, Tia sekeluarga pun sarapan pagi dengan susu dan roti-rotian. Belum selesai sarapan pagi. Rendi bertanya pada papa nya.

“Pa, gimana dengan beasiswa….” ujar Rendi dengan nada sedikit takut.

Belum selesai kakaknya berbicara. Papa nya langsung menjawab dengan suara yang sangat menentang.

“Tidak..!!”

“Kenapa sih Pa?” Tanya rendi membalas suara tentangan papanya.

“Papa lebih senang kalo kamu ikut Papa ke kantor buat nerusin usaha Papa ini ketimbang kuliah yang gak jelas arah dan tujuannya..” kata papanya dengan nada yang sedikit lebih rendah dari sebelumnya.

Tia pun langsung ikut berbicara..
“Tapi pa, kakak kan kurang pandai dalam bidang bisnis..”
“Ya, kalau gak dibiasain dari sekarang, mau kapan lagi? Siapa lagi yang bakal nerusin usaha papa kalau bukan kakak kamu, Rendi??” Jawab papanya dengan sedikit emosi.

Akhirnya Tia pun terdiam mendengar perkataan papanya. Sarapan pagi pada hari itu seperti berubah menjadi sebuah medan perang dingin pada Perang Dunia II. Kakak Tia, Rendi sangat ingin sekali melanjutkan kuliahnya di luar negeri karena ia mendapatkan beasiswa S2 nya di Australia dari EMINEF (The Australia-Indonesian Exchange Foundation). Namun, papanya tidak mengizinkan Rendi untuk meneruskan kuliahnya. Papanya ingin Rendi membantu dan meneruskan perusahaan papanya.

****

Sesampainya di kampus, Tia langsung bergegas pergi ke ruang kuliahnya karena tampaknya ia telah terlambat. Begitu Tia berada di depan ruang kuliahnya, Tia langsung mengetuk pintu.
Tok-tok-tok.
Bersamaan dengan suara ketukan pula, Tia mengucapkan.
“Permisi pak….”
“Silahkan masuk…” jawab dosen yang ada di ruangan itu dengan suara lantang.
“Mengapa kamu terlambat ??” Tanya dosen berjenggot tersebut dengan raut muka sedikit ditekuk, persis seperti polisi yang tadi ditemui Tia di jalan menuju kampus.
“Maaf pak, tadi macet di jalan..” kata Tia dengan suara merendah.
“Kali ini saya maafkan kamu karena Cuma terlambat 10 menit. Kalau begitu silakan duduk..” kata dosennya.
Dengan gaya tomboynya, Tia pun duduk di ruangan tersebut. Setelah ia menempatkan diri pada baris kedua dari belakang di kelas itu, Tia pun mendengar suara sahabat baiknya, Wiwin.
“Lo pasti bohong ya.. Tadi kan gak macet-macet amat..” ujar Wiwin seraya membuka buku.
“Hehehehe,, biarin.. Dosennya kan nggak tau juga..” jawab Tia dengan cengengesan.
Bagi Tia kuliah dengan dosen yang ini memang sangat membosankan. Mata kuliah yang diajarkan oleh Pak Hendro merupakan mata kuliah yang sangat ia benci.  Setelah kuliah hampir satu jam, Tia pun langsung teringat soal kejadian tadi pagi.

Mengapa papa melarang kakak untuk kuliah di luar negeri ?? Tanya Tia dalam hati.

Saat itu juga pikiran Tia itu menghilang karena mendengar suara ketukan pintu yang cukup keras dan munculah seorang mahasiswa. Tia mengenali mahasiswa tersebut yang bernama Hansel. Mahasiswa berperawakan tinggi, sedikit kurus dan berkuliat kuning langsat tersebut merupakan mahasiswa dari jurusan lain di Universitas yang sama seperti Tia. Selama satu semester ini, mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan dan Sistem Kesehatan Masyarakat sering masuk pada kelas yang sama diakibatkan dosen yang mengajar mereka sama.
Setelah kuliah berlalu selama 45 menit, pak Hendro pun mematikan laptop yang sering dipakainya untuk perkuliahan. Lalu pak Hendro langsung menulis sesuatu di papan tulis berwarna putih. Sebagian mahasiswa bingung akan apa yang ditulis oleh pak Hendro. Namun setelah selesai, mereka bersama-sama bergumam atas apa yang ditulis oleh pak Hendro.


****







Hansel Namanya


 “Bapak sudah memutuskan untuk mengadakan kuliah lapangan. Hal ini bapak lakukan karena jumlah pertemuan kita tidak cukup. Kalau masalah tempat dimana kita akan mengadakan kuliah lapangan, bapak sudah memutuskan dimana tempatnya. Sekarang terserah kalian bagaimana kalian membagi tugas dalam kelompok kalian. Tetapi, saya mau Ilmu Kelautan dan Sistem Kesehatan tetap dipisah karena kedua program studi ini tetap memiliki perbedaaan dalam hasil penelitian. Demikian.

***

Pada saat praktikum ke lapangan, Tia pun di tunjuk sebagai ketua tim Sistem Kesehatan Masyarakat, sedangkan Hansel dipilih sebagai ketua tim penelitian dari mahasiswa Ilmu Kelautan. Sebagai ketua dari masing-masing kelompok, Tia sering berinteraksi dan bertukar pikiran dengan Hansel.

Praktikum di lapangan itu hanya dilakukan dalam satu hari, saat mau pulang. Hansel bertanya pada Tia.

“Tia, menurut kamu bagaimana kehidupan di sini..??” ujar Hansel sembari melihat-lihat ikan yang ditangkapnya sebagai bahan penelitian.

Begitu deh. Mereka hidup dari mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Tetapi kehidupan sangat menyedihkan. Ikan banyak yang tercemar, Han. Banyak ikan yang menjadi racun bagi masyarakat yang menkonsumsinya. Sekarang di laut-laut Indonesia ini mulai tercemar karena limbah pabrik jadi mereka mulai terganggu untuk hidup.” Kata Tia.

Memang benar Tia. Laut-laut di Indonesia ini telah banyak tercemar oleh limbah pabrik. Bila tidak segera di atasi, maka cepat ataupun lambat ekosistem laut Indonesia akan terganggu dan para nelayan akan susah untuk mendapatkan ikan. Hal ini akan membuat semua pihak rugi.” sambung Hansel.
Waktu akhirnya menunjukkan pukul 16.00 WIB, pak Hendro langsung memanggil semua mahasiswa didikannya tersebut melalui TOA. Akhirnya Tia dan Hansel masuk ke dalam bus, saat itu pula percakapan diantara mereka terhenti. Bus pun melaju menyusuri jalan pulang.

***
Pilihan Rendi


Malam itu, semua berjalan seperti biasa kecuali pada kondisi cuaca serta keadaan hati masing-masing penghuni rumah. Pada malam itu, Tia merasakan adanya aura yang dapat menyulut adanya perpecahan antar keluarga itu, dan sepertinya perasaan Tia benar.

“Gimana Ren? Tawaran Papa kemarin, apakah kamu sudah mendapatkan jawabannya?” tanya Papa Tia sambil menyeruput segelas kopi hangat yang dibuatkan Mama Tia malam itu.

Papa sih sangat berharap kamu menerimanya ren. Karena kamulah satu-satunya anak laki-laki Papa dan hanya kamu yang Papa yakin bisa meneruskan usaha Papa. Kan kamu tau sendiri adik kamu itu perempuan sedangkan kamu laki-laki, jadi Papa sangat.....” kalimat tersebut terputus oleh hentakan majalah Rendi sebelum sempat diselesaikan.

“Pokoknya Rendi tetap gak mau meneruskan usaha Papa. Rendi tetep mau meneruskan kuliah Rendi pa dan Papa gak bisa melarang Rendi buat stop kuliah seenaknya” jawab Rendi kesal sembari berdiri dari tempat duduknya sebelum.

Suasana pun menjadi tegang dikala seorang Papa dan anak sedang berbeda pendapat. Mama dan Tia pun ikut terdiam tanpa ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut mereka berdua. Terlihat raut wajah yang sangat kecewa pada Papa, setelah mendengar kata-kata dari anak yang sangat diharapkannya itu. Namun Papa tidak menyerah begitu saja Papa pun menanyakan alasan apa yang membuat Rendi tetap bersih keras menolak tawarannya tersebut.

“Jujur Papa sangat kecewa mendengar ucapanmu tadi nak. Mengapa kamu bersih keras menolak permintaan Papa? Mengapa kamu lebih memilih beasiswa itu daripada nerusin usaha keluarga kita?” tanya Papa Tia dengan nada yang sedikit meninggi karena sedikit kesal dengan jawaban anaknya yang notabene tidak memuaskan permintaan laki-laki tersebut.

Maafin Rendi pa. Rendi ingin sekali membanggakan Papa, tapi saat ini Rendi ingin sekali meneruskan kuliah Rendi. Saat ini yang menjadi prioritas Rendi adalah kuliah setinggi mungkin semampu Rendi. Rendi gak mau suatu saat Rendi nyesel karena gak bisa kuliah setinggi mungkin. Pada suatu saat, Rendi bakal nerusin usaha Papa. Tapi nanti Pa, gak sekarang..” jawab Rendi dengan mata berkaca-kaca.

“KAPAN? SETELAH PAPA MATI??” teriak Papa Rendi yang tentu saja mengagetkan seluruh isi rumah mereka. Mama dan Tia pun hanya bisa diam dan terpaku atas apa yang terjadi di depan mereka. Dan selang beberapa saat Tia pun mengikuti kakaknya ke dalam kamar, dan di dalam kamar Tia pun berusaha dengan hati-hati untuk berbicara dengan kakaknya.

Kak Rendi, kenapa kakak menolak permintaan Papa? Apa salahnya kalo kakak kerja di perusahaan Papa? Toh kakak gak disuruh jadi OB kan? Kan lumayan kalo lulusan S1 langsung jadi direktur cabang.. ujar Tia sambil duduk di samping kakaknya tersebut.

Namun Rendi dengan sifatnya yang keras itu tetap tidak mengiyakan tawaran itu.

Hey kakak dong-dong. Dengar gak sih apa yang Tia omongin barusan?”

Rendi hanya diam tanpa menanggapi kata-kata adiknya, dan dia pun langsung menutup tubuhnya dengan selimut.

Hahh.... dasar keras kepala!” dengan nada cukup keras Tia melontarkan kata tersebut dan langsung meninggalkan kamar kakaknya.

Keesokan harinya, saat Tia akan pergi kuliah, Tia menyempatkan diri untuk  sarapan pagi, tapi ada yang aneh pada meja makan yang biasa ia pakai bersama keluarganya itu.
Tia mengamati sekitar meja makan itu, dan ternyata benar ada yang berbeda, rupanya sang kakak, Rendi tidak tampak sarapan bersama mereka, Tia berpikir pasti kakaknya tersebut masih tidur.
Lalu Tia pun pergi kekamar kakaknya, dan emang benar ternyata Rendi masih tidur. “aduuh... kak Rendi kok belum bangun sih, kakak lupa apa? Tia kan ada kuliah pagi nih.. (kebenaran pagi ini Tia ada kuliah kimia dasar II yang gurunya killer alias tidak memberikan waktu bagi siswa yang telat). Ayo cepat mandi kak.. Tia udah hampir telat nih”. Ujar Tia.
Rendi pun agak sedikit shock mendengar teriakan adiknya tesebut. Dengan cepat Rendi langsung berdiri dan mengambil perlengkapan mandinya.

Tinn...Tiinn..

Terdengar suara klakson mobil dari bawah, Tia memberi tahu ke kakaknya untuk segera pergi. tanpa sarapan Rendi pun pamit kepada orang tuanya dan langsung mengendarai mobilnya.
Setelah satu jam perjalanan, mereka pun sampai. Dan berpisah karena mereka kan berbeda jurusan.
Setibanya dikampus seperti biasa Tia menemui Wiwin. “hai win pagi banget kamu nyampe. “iya dong aku kan jarang telat, beda ama kamu ya’.. hehe”. Wiwin bercanda.
Sambil menuju ruangan mereka, Wiwin menanyakan kepada Tia mengenai konflik antara kakak dan Papanya. Karena Tia sendiri sering berbicara dengan Tia mengenai masalahnya.
Oh iya ya’ gimana konflik antara Papa dan kak Rendi? Tanya Wiwin.
 Dan Tia menjawab “Yah begitulah Win keadaan semakin rumit. Kak Rendi dengan sifatnya yang keras itu tetap menolak permintaan Papa.” desah Tia yang kelihatan begitu murung atas kejadian di rumahnya.

Oh begitu ya. Ya udah, kamu yang sabar ya…. Eh Ya. itu Ibu nya udah dateng ayo kita masuk, ntar nggak bisa kuliah lagi kita.. tukas Wiwin kepada Tia seraya mereka berdua berlari-lari kecil. Mereka pun tertawa dan langsung masuk dalam ruangan.


***


Akhirnya saat bagi Rendi untuk pergi meneruskan beasiswanya pun sampai pada saatnya. Walaupun Rendi melakukannya tanpa seizin dari Papanya, ia tetap nekat melanjutkan kuliahnya. Ia baru lega setelah Mamanya yang berkata bahwa beliau akan mencoba untuk berbicara baik-baik kepada Papanya Rendi. Sesampainya disana Sydney, ia pun segera menuju asrama dimana tempat dia akan tinggal.
Rendi menelusuri lorong demi lorong karena asrama itu sendiri berbentuk persegi panjang sehingga banyak lorong, tempat itu pun bernuanasa layaknya kampus luar negeri tidak seperti kampus di indonesia, banyak sekali perbedaan. Setelah cukup lama Rendi berjalan akhirnya kamar yang bertuliskan no 144 pun ditemukannya, karena nomor 144 itulah yang akan menjadi kamarnya bersama temannya, tetapi Rendi sendiri tidak tau siapa yang akan jadi teman sekamarnya nanti..

Didalam kamar pun Rendi langsung merapikan pakaiannya, dan Rendi pun berpikir dalam hati. Seperti apakah orang yang akan tinggal sekamar denganku nanti? Ahhh semoga saja orangnnya baik hati dan bisa diajak berteman, piker Rendi dalam hati. Setelah ia merapikan kamar tempat tinggalnya dan membereskan segala sesuatunya, ia pun langsung memilih untuk merebahkan badannya yang telah letih karena perjalanan yang sangat panjang dari Jakarta – Sydney.

Setelah 3 jam berlalu Rendi pun terbangun. Dan pada saat itu waktu menunjukkan pukul 15.30 waktu Australia.

Tok-tok-tok

Terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamar Rendi. Mendengar hal tersebut, Rendi sontak bangun dari tempat tidurnya dan langsung menuju pintu depan kamarnya. Ternyata yang berdiri di depan pintu kamar Rendi adalah Weslyson, seorang cowok yang berwajah tampan dengan tinggi kira-kira 172 cm berambut hitam dan lurus. Dia adalah seorang penerima beasiswa sama seperti Rendi dan juga ia berasal dari Indonesia.
Setelah cukup lama tinggal di Sydney, Rendi dan Weslyson mengikuti kuliah dengan rajin. Mereka banyak mengikuti banyak kegiatan yang berhubungan dengan mata kuliah mereka, Pelestarian Lingkungan Laut.
Dan pada saat mereka selesai mengikuti kuliah pada hari itu mereka berdua menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Mereka berkeliling dengan canda dan tawa, mereka memilih tempat sekitar perpustakaan di universitas mereka itu untuk beristirahat sebentar.
Sesaat setelah mereka duduk, Weslyson membuka pembicaraan dan melancarkan pertanyaan,

Oh iya Ren, aku belum tau alasan kamu mengapa memilih melanjutkan S2 disini. Padahal kan disini jauh dari orang tua kamu?”

 Rendi hanya diam.

Eh kok kamu diam sih? Aku nanya, Rendi.” kata Weslyson  sembari mengunyah roti yang ada di tangan kanannya. Akhirnya Rendi pun bersuara. Dia menjelaskan alasannya.

Sebenarnya sih aku belum mendapatkan izin dari orang tuaku untuk meneruskan kuliah disini. Papaku menyuruhku untuk meneruskan usaha keluarga, karena aku anak tertua di keluargaku. Namun aku belum siap, Wes. Aku merasa belum cukup matang untuk melanjutkan usaha keluargaku itu, aku takut nantinnya aku hanya mempersulit usaha itu. Aku ingin setelah aku merasa cukup matang, baru aku masuk ke dalam hal tersebut. Jadi sampai saat ini papaku tidak mengizinkan aku sudah kuliah disini.ujar Rendi.

“Oh begitu ya…. Salut deh buat kamu Ren. Kamu harus berusaha untuk membuktikan bahwa perkataan dan janji kamu adalah benar”. Kata daniel.
Eh kamu tadi bilang kamu anak tertua emangnya kamu punya adik? Cewek apa cowok adik kamu? Tanya daniel bercanda.
Iya aku punya adik. Cewek, Tia namanya. Dia masih kuliah di UNDIP di jurusan Kesehatan Masyarakat.” Ujar Rendi.
Kalo gitu boleh dong aku kenalan ama adikmu.. hehe.” Tanya Weslyson sembari mengumbar senyum-senyum genit.
Rendi pun berkata “Emang dia mau kenalan ama kamu? Kamu itu gak pantes buat adik aku. Hahaha” Rendi pun meledek Weslyson.
Eh kamu belum tau aja siapa Wesly sebenernya. Banyak cewek-cewek mengantri untuk mendapatkan hatiku. Hahahaha tawa Weslyson keras.
Ah gak mungkin!” teriak Rendi dan langsung berlari meninggalkan Weslyson.
Eh sialan kamu Ren. Awas ya kalo aku sampe dapet adek kamu.. Hahahahaha

Mereka berdua pun kembali ke asrama dan beristirahat dikamar.



***




Rabu, 22 Oktober 2008 (Australia)

Rendi membuka matanya dari tidur malamnya sehabis kemarin telah melakukan hal yang sangat melelahkan. Mengerjakan tugas kuliah, menyiapkan bahan persentasi, sampai harus membereskan rumahnya yang sangat berantakan bak kapal pecah di Pearl Harbour. Kemarin, Weslyson pamit untuk menginap di kampus karena dosennya, Mr. Thomkins, memberikan tugas kepadanya untuk mengamati biota laut yang didapatkan setelah melakukan ekspedisi ke perairan Indonesia lebih tepatnya ke pulau kecil di Selatan Indonesia, Pulau Natal. Mereka meneliti berbagai macam biota laut khususnya kepiting merah yang banyak terdapat di Pulau Natal tersebut.

Sehabis merapikan tempat tidurnya, Rendi langsung mengarahkan langkahnya ke arah kamar mandi. Ya, seperti biasa, Rendi melakukan “ritual” paginya yaitu berkaca di kamar mandi, tetapi dalam jangka waktu yang sangat lama. Pernah sewaktu masih di Indonesia, Tia sampai menggedor-gedor pintu kamar mandi karena Rendi melakukan “ritual” ini, tak tanggung-tanggung, rekor terlama Rendi mencapai 20 menit untuk melakukan hal ini. Alhasil, orang-orang di rumahnya, Ayah, Ibu, sampai Mbok Niken kaget akibat gedoran Tia ke pintu WC. Sehabis melakukan ritual ini, Rendi pun melangkah kecil menuju bath tub, langsung menghidupkan air dan berendam sambil bersenandung kecil.

¯¯¯

Sesampainya di kampusnya yang tercinta, Rendi pun langsung masuk ke kelasnya karena hari ini ia harus mengikuti 3 mata kuliah sekaligus dalam sehari. Untung hari ini gue bawa laptop, jadi waktu pulang gue bisa browsing, pikir Rendi dalam hati. Beberapa menit kemudian, kelas terisi penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang rata-rata merupakan orang Australia asli alias bule semua, karena orang Indonesia yang berkuliah di kelas ini, Program Studi Ilmu Kelautan di Australia hanya Rendi dan Weslyson. Pada saat yang bersamaan, Mr. Gerrard masuk ke kelas dan disusul oleh Weslyson.               

“Good morning, class. Today we are going to start our subject about Ecotoxiology. Just prepare your book please. Let’s start!”

Rendi pun dengan gerak gontai mengambil buku bacaan besar berwarna biru yang mungkin seukuran dengan laptopnya dari dalam tas. Setelah ia meletakkannya di atas meja dan membuka halaman sesuai instruksi Mr. Gerrard, ia mendengar whisper-an dari Weslyson,

“Psstt.. Ren.. Ren..”

Dengan seketika, Rendi pun menoleh pada Weslyson. Lalu dengan bahasa isyarat tubuh ia mengangkat kedua pundaknya seolah berkata apa? Setelah itu, Weslyson pun menyerahkan dua lembar kertas ukuran folio kepada Rendi setelah kertas itu dilipat empat. Rendi yang menerima kertas itu pun mencoba menerka-nerka apa isi dari kertas tersebut.

SAMPAI KAPAN LAUT INDONESIA AKAN DIEKSPLOITASI OLEH NEGARA LAIN?

Begitulah sepenggal judul dari kertas yang diberikan Weslyson kepada Rendi yang ternyata kertas tersebut merupakan sebuah artikel on-line yang diambil oleh Weslyson semalam di kampus dari internet. Dengan raut wajah yang antusias, Rendi membaca artikel yang diberikan oleh sabahatnya tersebut. Ya, memang Rendi orang yang nasionalis dan cinta tanah air. Hal ini dimulainya semenjak kecil karena ia ingin sekali memajukan negaranya yang tercinta itu. Bahkan ketika kecil, ia suka sekali berpidato di depan kedua orangtuanya layaknya Bung Karno sedang berpidato untuk kemerdekaan Indonesia. Entah itu tentang kemajuan bangsa, korupsi, bahkan pencelaan pada pemerintah pun telah banyak dituang oleh Rendi pada pidato-pidato ciptaannya yang sampai sekarang masih dibuatnya.

Artikel tersebut telah menyita pikiran Rendi untuk belajar mata kuliah Ekotoksikologi yang diampu oleh Mr. Gerrard, padahal notabene minggu depan ia harus menjalani kuis yang sampai sekarang belum ada yang memecahkan rekor nilai A untuk mata kuliah ini.

Setelah menjalani 3 mata kuliah yang sangat panjang, membosankan, dan menyebalkan akibat hari itu pikiran Rendi tersita oleh artikel yang dibawa Weslyson, ia pun langsung memilih untuk menuju tempat terfavoritnya di kampus tersebut, PERPUSTAKAAN. Kenapa perpustakaan? Hal itulah yang pernah ditanyakan oleh Tia sewaktu Rendi menelepon Tia untuk menanyakan keadaan keluarganya di Indonesia.

“Ya, gimana ya. Maklumlah anak kost-kostan. Susah disini nyari duit. Gak enak juga kakak make komputer perpustakaan karena perpustakaan tutup jam 3 sore waktu sini. Jadi, mumpung disini ada hotspot, kenapa enggak?”

Begitulah kata Rendi kepada Tia. Setelah mata kuliah terakhir selesai, Rendi pun menarik tangan sahabatnya, Weslyson, dan langsung menuju perpustakaan. Tetapi sebelum menuju perpustakaan, mereka berdua berhenti di depan kafe kampus yang terletak dua gedung sebelum perpustakaan untuk membeli persediaan makanan guna “menyogok” perut mereka yang lapar. Setelah melahap dua bungkus roti dan satu botol air mineral dingin, mereka pun langsung menempati corner favorit mereka di perpustakaan. Letaknya di luar ruangan perpustakaan, namun tempatnya cukup cozy untuk browsing walaupun sampai larut malam.
“Wes, gue jadi kepikiran sama artikel yang lo kasih sama gue pagi tadi. Kenapa ya Indonesia mau aja digituin sama negara lain? Padahal lautnya punya kita, tapi yang mengeksploitasi malah orang lain. Menurut lo gimana?”

Tanya Rendi dengan raut wajah layaknya seorang cendikiawan. Lalu, Weslyson menjawab setelah menyingkirkan mouse dari tangannya,

”Yah, begitulah Ren kalo di ngeri kita kurang menghargai pemberian yang dikasih Tuhan. Semua jadi percuma. Apalagi, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dalam menangani laut-laut di Indonesia. Bayangkan, laut Indonesia yang seluas itu, sumber daya alam yang kompeten dalam menanganinya hanya sedikit. Jelas aja gak match. Therefore, there are a lot of corruptions among the governor. Jadi gak ada gunanya. Ada sumber daya, tapi pendukunya gak ada. Taunya hanya perut dan kantong.” Ujar Weslyson dengan nada agak sinis dan pesimis kepada Rendi.

“Belum lagi kurangnya perhatian masyarakat kepada laut. Ditambah lagi banyak perusahaan yang tidak peduli dan sembarangan membuang limbah pabrik mereka ke laut tanpa memikirkan dampak dari perbuatan mereka.” sambung Weslyson sembari melanjutkan game online-nya yang tadi sengaja di pause untuk menjawab pertanyaan Rendi. Mendengar jawaban dari Weslyson, Rendi pun hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju atas pendapat sahabatnya tersebut.



¯¯¯


Kamis, 23 Oktober 2008 (Indonesia)

Pagi ini, adalah hari dimana dua program studi dari suatu universitas bergabung dalam satu kuliah lapangan. Ya, program studi tersebut merupakan dua program studi yang terkenal dari universitas ini, Sistem Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kelautan. Hal ini sudah terjadi lama semenjak kedua program studi ini lahir di universitas ini, karena SKM dan Ilmu Kelautan memiliki suatu kesamaan pengajaran, yaitu kelestarian lingkungan, dan hal ini terkadang membuat SKM dan Ilmu Kelautan mengadakan Kuliah Lapangan bersama.

Tia sudah menyiapkan semua peralatannya untuk Kuliah Lapangan hari ini, mulai dari alat tes pH air, alat kadar toksin dalam air, alat kandungan udara, dan lain sebagainya. Hari ini, mahasiswa Sistem Kesehatan Masyarakat telah melakukan perjanjian untuk berkumpul dengan mahasiswa Ilmu Kelautan di depan gerbang universitas. Dengan semangat Tia menuruni tangga dan menghampiri ibunya yang sedang duduk membaca Koran di ruang makan.

“Ma, hari ini Tia mau KP. Pulangnya Senin kali ma. Tia pergi ya..”

Kata Tia seraya menyambar dua potong roti tawar yang telah dioleskan selai oleh Mbok Niken dan segelas susu coklat hangat. Lalu Mama Tia segera menutup korannya dan menghampiri putrinya tercinta dan mencium keningnya,

“Hati-hati ya nak. Jangan macem-macem lho. Kalo ada apa-apa telepon Mama atau Papa ya..”

Lalu Tia hanya melempar senyum sebagai tanda ia mengerti akan wejangan Mamanya tersebut dan melambaikan tangan. Dengan berlari kecil, Tia langsung masuk ke mobil Nissan X-Trail dan melaju cepat ke kampusnya yang tercinta.

Sesampainya disana, ia langsung bertemu dengan Wiwin, sahabat karibnya yang dikenalnya sejak masuk universitas ini. Sejenak ia terdiam dan melayangkan pandangan ke arah rombongan mahasiswa Ilmu Kelautan. Ia ingin mengecek apa semua telah lengkap dan siap untuk berangkat ke daerah penelitian. Setelah mengabsen satu persatu mahasiswa Sistem Kesehatan Masyarakat seangkatannya, ia lalu memberikan absennya ke dosen pembimbingnya. Sekilas ia melihat bahwa Hansel ada di barisan mahasiswa Ilmu Kelautan. Tampak bahwa mahasiswa berperawakan tinggi, rambut cepak tentara dan kulit kuning langsat tersebut tengah melihat Tia kembali sambil melempar senyumnya ke arah Tia.

Sepuluh menit kemudian, rombongan mahasiswa ini pun berangkat dengan menggunakan empat buah bus antar kota antar propinsi yang lumayan besar. Mereka langsung menuju daerah penelitian yang berjarak cukup jauh, sekitar satu hari perjalanan dari kota asal mereka. Mereka pun sampai di sana keesokan paginya. Setelah sampai mereka langsung singgah di pondok-pondok rumah yang telah mereka sewa. Rumah itu cukup untuk lima orang lengkap dengan kamar mandi dan difasilitasi dengan televise dan lemari pakaian serta meja-lemari tempat menaruh barang-barang berharga. Suasana di desa itu pun cukup nyaman. Desa tersebut merupakan desa nelayan, keadaannya cukup bersih karena mereka rajin membersihkan lingkungannya.

“Diharapkan semua mahasiswa berkumpul dalam waktu 10 menit setelah  meletakkan barang-barangnya dalam kamar.”

Ujar Pak Hendro dengan suara baritone-nya ditambah dengan TOA yang sering dipakai orang untuk berdemo. Lalu ia pun langsung duduk dibawah pohon kelapa yang kelihatannya cukup rindang untuk tempat liburan. Kalau saja ini lagi liburan, ujar Tia dalam hati. Ia ingin sekali mengajak keluarganya liburan seperti dulu Tia masih duduk di bangku SMP. Ya, kesibukan ayahnya yang bekerja sebagai pemilik pabrik kertas PT. Global Sejahtera Pulp and Paper membuat keluarga ini jarang dirumah. Apalagi semenjak papa yang pulang-malam-pergi-pagi ditambah lagi permasalahan antara papa dan Rendi yang menyebabkan Rendi nekat kabur ke Australia untuk melanjutkan studi S2-nya. Tia rindu akan masa-masa dimana semua hari libur akan digunakan seefisien mungkin dan papa akan selalu menyisihkan waktu untuk anak-anaknya.

Lamunan Tia pun buyar setelah Pak Hendro memanggilnya untuk absen karena Tia merupakan pimpinan regu Sistem Kesehatan Masyarakat sedangkan Hansel merupakan pimpinan regu Ilmu Kelautan. Mereka pun langsung berjalan menuju tempat kasus yang diberikan dosennya. Tia dan Hansel terkejut melihat dimana ada satu spot yang cukup besar, cukup untuk satu kolam renang tetapi sudah mulai membesar sehingga mencapai diameter 30 meter, yang berisi air laut berwarna hitam pekat dan terdapat bangkai-bangkai biota laut.

“Ya anak-anak. Silahkan meneliti daerah ini karena ini sekarang menjadi spot perhatian atas pencemaran lingkungan khususnya lingkungan perairan asin. Tetapi ingat, jangan sampai kalian berenang ke dalam limbah karena dikhawatirkan beracun dan mengandung asam.”

Itulah kata terakhir yang diteriakkan Pak Hendro menggunakan TOA (yang sepertinya) kesayangannya. Dengan seketika Hansel mengambil sampel air dan sampel bangkai makhluk hidup yang mati di spot tersebut lalu mengamatinya. Melihat kesigapan Hansel dalam meneliti hal-hal ini, Tia pun hanya termangu melihat Hansel lalu berpikir, apakah sebegitu excitednya Ilmu Kelautan ini sampe Hansel sebegitu semangat gitu ngerjainnya? Namun sepertinya Tia tak ingin berlama-lama dalam lamunannya dan segera mengambil tindakan juga. Salah satunya adalah mencoba memotret lokasi kejadian pencemaran lingkungan, keadaan perumahan nelayan, kehidupan sehari-hari nelayan dan lain sebagainya. Lalu, Tia pun langsung berlari begitu melihat salah satu nelayan melintas dari kejauhan. Begitu bertemu dengan nelayan tersebut, Tia langsung meminta ijin untuk interview dan langsung melayangkan beberapa pertanyaan. Pada pertanyaan terakhir, sepertinya nelayan ini takut untuk menjawabnya. Lalu dengan nada kecil namun masih dapat direkam oleh voice recorder milik Tia, ia berkata, “Semua limbah ini Mbak, ada sejak mobil pembuang limbah itu dateng. Itu mbak, mobil yang bertuliskan pete gelobal sejahtera p..p..pulp n paper. Maaf ya mbak, saya ndak bisa bahasa inggris.”


¯¯¯


Jumat, 31 Oktober 2008 (Australia)

Pagi hari ini, Rendi bangun pagi sekitar pukul 10.00 pagi waktu Sydney. Kenapa? Hal ini disebabkan Rendi ingin lari pagi di pinggir pantai Sydney atau lebih tepatnya dermaga. Ya! Sydney merupakan ibukota dari Negara Australia. Dan karena letaknya dekat dengan laut, otomatis hal ini membuat Sydney merupakan kota dengan dermaga terbesar di seluruh jagad Australia. Dan pagi ini, Rendi berniat untuk mengawali harinya dengan berlari pagi. Toh gue juga udah lama gak olahraga. Mumpung ga ada mata kuliah, lumayan buat jaga kesehatan. Begitulah pikir Rendi sejak kemarin setelah kunjungan Weslyson yang notabene tetangga rumah sewanya. Dengan bercelana pendek ala pelari, kaus polo shirt berwarna hitam, sepatu Nike Air yang dibawanya dari Indonesia dan bermodalkan I-Pod hitam hadiah ulang tahun yang diberikan oleh adiknya, ia pun melangkahkan kakinya kearah pintu rumahnya. Setelah melakukan pemanasan seadanya, ia pun mulai melakukan lari-lari kecil menuju dermaga. Pagi itu, suasanya nampak damai dan sepi diakibatkan cuaca sedikit dingin karena musim sudah memasuki akhir dari musim gugur dan akan memasuki musim dingin. Dan nampaknya, hal ini malah menggembirakan bagi Rendi karena pada biasanya, pelabuhan akan ramai oleh anak-anak atau keluarga yang sedang bermain-main di akhir pekan ini.

Setelah puas berlari-lari selama kurang lebih satu jam, Rendi pun mencari tempat duduk di pinggir pantai, ya kali ini benar benar pantai namun dengan versi pasir yang lumayan pendek sebagai perbatasan daratan dan lautan, lalu duduk setelah melakukan peregangan pada otot-otot kakinya. Sehabis ia meminum sebotol orange juice, ia pun dikejutkan dengan getar handphone-nya.
Trrrtt-trrrrtt..
Siapa ya yang nelepon gue pagi-pagi gini?
Trrrttt-trrttt..
Nama Tia-Bawel pun muncul di layar handphone Rendi. Wah, pasti ada apa-apanya nih. Ngapain Tia nelepon pagi banget dari Indonesia? Begitulah pikir Rendi dalam hati. Setelah ia menekan tombol hijau pada handphonenya lalu,

“Kenapa Ya? Kok pagi-pagi gini Tia nelepon kakak? Tumben..”

Tanya Rendi sembari kembali meminum air dari botol air mineral yang dibawanya. Lalu terdengar dari seberang telepon suara cemas dan gelisah. Hal ini tentu menyebabkan Rendi semakin penasaran sekaligus bingung tentang apa yang akan adik kesayangannya ini katakan.

“Kak.. Kakak.. Aku kecewa banget dengan Papa.”

Setelah mendengar perkataan Tia, Rendi pun semakin bingung dan langsung meluncurkan pertanyaan,

“Kenapa kecewa? Emangnya papa kenapa?”

Lalu Tia menjawab pertanyaan Rendi dengan nada yang sedikit meninggi.

“Papa ternyata dalang dari semua kerusakan alam di pantai nelayan kak. Ternyata papa seenaknya aja ngebuang limbah kertasnya ke pantai disekitar pabrik. Tia tau hal ini setelah Tia kuliah lapangan dan dengar cerita dari nelayan.”

Mendengar hal tersebut, Rendi langsung memuncratkan air mineral yang telah setengah diteguknya. Tetapi, perlahan-lahan ia mampu menenangkan diri lalu menjawab,
“Ya, kakak udah tau ini bakal kebuka akhirnya. Inilah alasan kakak pengen ngambil program studi ini. Kakak udah penelitian kesana sewaktu kakak masih ngambil S1. Awalnya kakak gak tau kalo itu karena pabrik. Tapi nelayan bilang itu karena limbah.”

Lalu Rendi berusaha melanjutkan perkataannya,

“Tia udah ngomong dengan papa masalah ini?”

“Tia udah ngomong kak. Tapi papa malah marah-marah dan marahin Tia. Ngomong Tia masih kecil lah, gak tau apa-apa lah.. Tia hanya gak pengen nanti papa kenapa-kenapa karena masalah limbah ini kak.”

Ujar Tia sambil sedikit terisak karena tak mampu membayangkan apabila sesuatu terjadi kepada papanya tersebut. Mendengar isak tangis adiknya, Rendi tak mampu berkata apa-apa dan hanya mencoba untuk menenangkan Tia.




¯¯¯




Siang itu terlihat Rendi tengah membereskan barang-barangnya. Koper berisi penuh telah terpampang di depan pintu kamar Rendi. Isi lemari pakaian telah sebagian dipindahkan ke dalam koper. 
Weslyson yang penasaran melihat Rendi bergegas, merasa penasaran.

“Lo ngapain sih Ren? Sibuk banget kayaknya” tanya Weslyson penasaran.

Rendi menoleh.

“Sepertinya beberapa hari ini gue mau balik ke Indonesia, ada sesuatu hal yang harus gue lakuin disana..” jawab Rendi yang masih sibuk berkemas.
“Emang mau ngapain lo Ren? Yaa gue sendiri deh disini..” Weslyson menjawab lirih.
“Penelitian”
“Penelitian apa? Misterius amat sih lo Ren..” Weslyson tambah penasaran.
“Gini, perusahaan Bokap gue yang ada di Semarang sedang ada masalah. Gue harus segera nolong perusahaan Bokap gue secepatnya”.

Weslyson terdiam.

“Sepertinya menarik! Gue ikut lo ke Indonesia ya!” perkataan Weslyson ini lebih tepatnya disebut pernyataan dibanding sebuah pertanyaan.
“Tapi….” Namun belum sempat Rendi menyelesaikan kalimatnya, Weslyson sudah menghilang.

***

Begitu Rendi selesai bergegas, dibawah, pada depan asrama Weslyson telah berdiri siap dengan pakaian rapi dan kopernya.
Seulas senyum tersungging di bibirnya.

“Come on, Gue udah nggak sabar untuk segera menuju Indonesia!” seru Weslyson girang.

Rendi dan Weslyson bergegas pamit dengan ketua asrama. Dan berjanji mereka akan segera kembali secepat mungkin.
Entah kapan Weslyson memesan tiket, tetapi sekarang di tangan mereka telah terdapat dua tiket penerbangan beserta paspor lengkap.


14


Suasana pabrik PT Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang semula lenggang, tiba-tiba dikejutkan oleh ribuan demonstran. Mereka membawa spanduk dan poster-poster dengan tulisan yang bernada menghujat.

Bubarkan Global Sejahtera Pulp N’ Paper!!
Global Sejahtera Pulp N’ Paper pembunuh!!
Hancurkan kapitaliss!

Sebuah mobil pick-up terbuka sebagi komandonya. Ketua rombongan demo keluar dengan kaos oblong putih, celana jeans, sepatu kets, serta ikat kepala bertulisan senada. Dengan gagahnya berdiri dengan mikrofon di tangan menyuarakan hal yang senada.

“Saudara-saudara sekalian! Sejak dahulu, yang namanya kapitalis itu selalu membuat kerusakan. Mereka, dengan pabrik-pabriknya telah mengotori sungai-sungai tempat bermain anak-anak kita, menebar racun dimana-mana! Mereka adalah pembunuh! Sekarang Sembilan saudara kita meninggal karena keracunan merkuri! Demi keuntungan berupa uang, mereka telah membunuh sesame manusia tanpa memikirkan keadaan kita!” teriak lelaki ber-oblong putih polos itu, garang.
“Bubarkan Global Sejahtera Pulp N’ Paper!!” teriak seseorang memprovokasi.
“Tahukah kalian tindakan pemerintah? Mestinya mereka bertindak sebagai pelindung masyarakat, seharusnya pemerintah segera dengan tegas menindak tegas pabrik sialan ini!! Tetapi, nyatanya sampai sekarang, pabrik ini masih berproduksi! Mereka ternyata benar-benar telah kehilangan hati nurani!”
“Bubarkan!!”

Polisi huru-hara berloncatan dari truk, segera membuat pagar betis di depan pintu gerbang PT Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang tertutup rapat demi menghindari amukan masa. Kerumunan massa itu bergerak dengan teriakan yang semakin panas.

“Bakar Global Sejahtera Pulp N’ Paper!”
“Bakar..bakar..bakar…!!!”
“Rakyat bersatu, tak bisa terkalahkan!”
“Mana pimpinannya si manusia serakah!”

Massa semakin garang. Mereka membakar ban mobil. Asap mengepul hitam. Anarkis. Dari balik sebuah gedung, sepasang mata tertutup kacamata hitam memperhatikan demo besar-besaran itu dari kejauhan. Ia tercenung, tampak terpukul dengan pemandangan tersebut. Jika kacamata hitam itu lepas dari matanya akan terlihat di baliknya basah.


Lelaki tersebut menghela napas.
Dia adalah Hansel.

Disisi lain, Daniel mendapatkan sepucuk surat yang barusan diberikan oleh pengawalnya. Parasnya memucat, berseling dengan wajahnya yang memerah padam. Pemerintah mencabut izin usaha PT Global Sejahtera Pulp N’ Paper!
Keputusan tersebut serasa seperti seperti petir yang menggelegar disiang bolong.

“Pak, ini surat pengunduran diri Saudara Rukman Suparman,” seperti tak melihat ekspresi terkejut dari mata Daniel.
“Rukman?”

Sebuah SMS ia terima dari seseorang kepercayaannya.

<<Rukman bergabung dengan Bondan. Mereka ada di balik semua ini.>>

Rukman adalah Direktur Utama Global Sejahtera Pulp N’ Paper. Mendadak sepasang mata Daniel membesar. Ada sesuatu yang aneh pikirnya. Jantung Daniel berdebar kencang dan ia merasakan seluruh tubuhnya kejang, kemudian tubuhnya roboh dan dunia terasa gelap.
Pengawalnya terperanjat melihat bosnya tak sadarkan diri di sandaran kursinya, pingsan.

“Panggil ambulans. Cepattt!!”

15

Papa masuk rumah sakit!
Ini bukanlah sandiwara. Ia telah dihempaskan pada sebuah petualangan pilihan yang sangat ruwet. Anak yang masih dengan kerasnya menolak melanjutkan bisnis yang telah lama di binanya, sampai ke masalah-masalah kompleks yang terjadi akhir-akhir ini. Bagaimanapun, struktur saraf yang menyusun aktivitas emosi di tubuh masih berjalan normal. Maka ia pun merasakan tusukan-tusukan perasaan, yang menciptakan nyeri yang luar biasa. Nyeri yang menyayat. Ia tak mampu menerjemahkan sakit hatinya itu dalam bentuk apa pun.
Tia termenung di sebuah sudut ruang yang kumuh. Wajahnya tertekuk, bibirnya mengatup rapat, seakan ingin memproklamirkan kegelisahan yang teramat sangat. Rambutnya acak-acakan, seakan telah beberapa minggu tidak tersisir. Wajahnya pucat, seperti bulan kesiangan.
Gadis tersebut memejamkan mata. Sedih. Tentu saja.  Ia sibuk berpuisi dengan angannya. Berjalan lunglai melewati jalanan yang ramai. Sebuah Kijang tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Pintu terbuka, lalu keluar dua orang lelaki. Tanpa pendahuluan dan basa-basi, sang lelaki itu mendadak menangkapnya, meringkus tubuhnya dan memaksa Tia untuk segera masuk ke dalam mobil.
Tia kaget. Ia mencoba teriak sekeras mungkin, namun jemari lebar sang penculik segera menutup erat mulutnya.
Ia pun hanya bisa menjerit tertahan.
Orang yang lalu lalang sebenarnya melihat kejadian ini. Daripada waktu mereka tersita untuk sebuah urusan yang barangkali tidak penting bagi kehidupan mereka, mereka lebih memilih menghindar.
Dan penculikan itu pun berlangsung sukses.


***
Tia masih tidak mengerti, mengapa ia tiba-tiba diculik. Matanya segera memandangi dengan jelas siapa kedua lelaki yang baru saja menculiknya itu.

“Lepaskan saya! Lepaskaaaan!!” teriak Tia, setelah bekapan mulutnya dibuka.

Tetapi kedua lelaki tersebut sibuk memperhatikan jalan. Mereka bahkan tersenyum geli.

“Kalian ini siapa sih? Apa maksud kalian memperlakukan gue seperti ini, hah!?”
“Kami hanya utusan kok! Tenang saja..,” ujar si sopir.
Tia kesal. “ Akan gue laporkan kalian pada polisi.”
“Silahkan saja lapor, nona ingin tau siapa yang mengutus kami untuk menculik?” lagi-lagi mereka tersenyum geli.
“Tentu saja!” jawab Tia ketus.
“Bos kami kangen, ingin bertemu dengan anda!”..

Lima menit kemudian.

“Itu bos kami!” teriak salah satu dari mereka pada seseorang yangberdiri didepan teras rumah.
Hansel!


***


“Apa sih pake acara culik-culikan gini?!” teriak Tia, marah.
Hansel tersenyum tipis, “Gue pengen lo denger kesaksian dia!” sambil menunjuk seorang lelaki yang terduduk pasrah di sofa.
“Dia adalah Ir. Safrizal sebagai Direktur produksi Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang baru. Dialah sang aktor yang bermain cerdik dalam kasus ini, meskipun dia bukanlah pemeran utamanya. Berceritalah pak Safrizal!”

Lelaki itu mengangkat wajahnya.

“Ss.. saya di paksa. Keluarga saya diancam akan dibunuh jika tidak mau melaksanakan rencana ini.” Safrizal menghela napas panjang.
“Ini semua berawal dari permainan kotor para pengusaha. Mereka sulit menumbangkan dominasi Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang begitu kuat. Beberapa pabrik pulp dan kertas didirikan, namun bangkrut karena pemakai produk lebih tertarik pada Global Sejahtera Pulp N’ Paper. Akhirnya mereka membuat scenario. Saya hanya sebagai kacung pelaksana.

“Bagaimana sekenario yang mereka susun?” Tanya Hansel.
“Pertama, harus dirancang adanya pencemaran air merkuri di laut Natal. Lalu juga harus ada LSM yang membela para korban”.
“Berarti, kebocoran sistem pengelolaan limbah di Global Sejahtera Pulp N’ Paper  itu memang di sengaja kan?!” Tia tak dapat menahan emosinya.
Safrizal hanya menunduk, merasa bersalah.
Tia berdiri mematung, membisu, ia benar-benar shock.
Ringtone Hp Tia berbunyi.
Sebuah SMS. “Bentrok massa semakin menjadi”..
“Bondan memang pesaing bisnis papa dari dulu yang ada di balik semua ini!”, Tia dan Hansel bergegas pergi ke pabrik, sebelum amukan semakin menjadi.

***

Bentrok ternyata sudah begitu parah. Massa yang datang belakangan menyerbu para karyawan dengan bringas, sepertinya telah disengaja. Ratusan karyawan, terutama karyawan wanita mengalami cidera. Mereka menjerit panik. Ratusan polisi telah diturunkan, namun kericuhan belum berhasil diatasi dengan baik.
Tia merasakan matanya basah. Tangisnya tak tertahan, ia berlari ke atas mikrolet yang terparkir, mengambil TOA yang tergeletak.

“Berhenti..Berhentii!! Berhenti semuaaa!!”teriaknya sambil berlinang air mata.

Namun ricuhnya bentrokan, membuat orang-orang tak mendengar teriakan Tia.
Tiba-tiba peluru nyasar melayangkan tembakannya tepat di lengan Tia.

***

Rendi dan Tia menatap samar wajah Papanya Rendi yang terinfus di rumah sakit.

“Tia..Rendi..” desah lelaki separo baya yang tergeletak lemas di ruang ICU. Daniel yang perkasa, kini terkulai lemas karena stroke.
“Mendekatlah kemari sayaangg..”
“Papaa..,” tiba-tiba Rendi jatuh bersimpuh di tepi ranjang. Sepasang matanya basah, ia mencium telapak tangan sang papa yang telah lama tak berjumpa.
“Maafin Rendi..”

Dengan gemetar, diusapnya rambut Rendi.

“Maafkan papa Ren.. Apapun yang kamu lakukan, papa akan tetap sayang sama kamu.. kamu anak kebanggaan papa.. “
“Setelah papa sembuh, papa janji akan mengizinkan kamu untuk tetap meneruskan kuliah disana. Karena papa sekarang sadar, akan pentingnya pengetahuan kelautan untuk masyarakat kita..”
Tia, Weslyson dan Hansel yang ikut membesuk saling tatap dan ikut merasakan.


***


“Dek, kakak tadi ngirim email ke emailnya kamu..”
Pesan singkat tersebut dibaca Tia, siang hari itu.
Bergegas, dengan mencolokkan modemnya Tia membuka Laptop dengan gambar ungu disampingnya. Laptop kesayangan dari kakaknya.
Situs www.yahoo.com dibuka.
Tia Log In membuka emailnya.
Benar.
Disana terdapat email dari Rendi54.
Dibacanya pelan.




Adikku Tia tersayang..

Apa kabarmu disana?bagaimana kuliahnya disana?
Semoga lancar-lancar aja yaa.. J
Kakak sangat senang mendengar kabar kalau kesehatan Papa sudah mulai  membaik.
Keadaan pabrik Papa yang mulai membaik.
Sampaikan terima kasih kakak untuk Papa ya,
Karena Papa akhirnya sekarang sudah mengizinkan kakak untuk tetap meneruskan kuliah serta penelitian kakak.
Tia, sekarang kakak sedang meneliti biota laut di Negara kita serta meneliti batas-batas territorial Negara kita yang semakin dipersempit.
Sebenarnya fakta ini sudah lama diketahui oleh pemerintah.
Tetapi tidak pernah ada tindakan tegas dari pemerintah untuk mengambil kebijakan atas peristiwa ini. Jika dibiarkan begini terus, maka lama-lama daerah territorial dan biota laut di Indonesia akan hilang dan semakin menyempit.
Kakak disini berusaha untuk terus meneliti dan mengumpulkan  bukti-bukti yang konkrit mengenai masalah ini agar masyarakat kita dapat melestarikan biota laut dan menghentikan penangkapan-penangkapan illegal sumber daya laut yang ada di laut kita.
Dan semoga pemerintah dapat segera bertindak tegas untuk menentukan batas-batas territorial Negara kita.
Kakak harap kamu bisa lebih perduli terhadap lingkungan sekitar, karena jika jika bukan kita sebagai generasi muda, siapa lagi?

Salam sayang,
Rendi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar