KUKUURUYUUKKK…
Kukuuruuyuk….
Seperti biasa suara ayam jantan
membangungkan Tia dari tidurnya. Terlihat matahari telah menyinari sisi-sisi
jendela kamarnya. Tak lama Tia berdiam diri di tempat tidurnya, kemudian ia
beranjak dari tempat tidur tersebut. Dengan melihat jam yang hampir setengah
tujuh. Tia langsung bergegas ke kamar mandi.
“Aduhhh,, pasti telat ini” kata Tia sambil membawa
handuk nya.
Tia merupakan seorang mahasiswa kesehatan
masyarakat di perguruan tinggi negeri Universitas Diponegoro, Semarang.
Sekarang Tia telah menempuh dua semester di perguruan tinggi tersebut. Tia termasuk
dalam urutan keluarga yang sangat-sangat bahagia versi teman-temannya. Ia
mempunyai orang tua dan satu orang kakak laki-laki. Ayahnya merupakan seorang pengusaha
besar yang mempunyai perusahaan dalam bidang kertas sedangkan ibunya hanya ibu
rumah tangga biasa yang bertugas mengurusi keluarga. Sedangkan kakak
laki-lakinya, Rendi, baru saja lulus dalam perguruan tinggi negeri tempat Tia
kuliah.
Blamm,,.
Suara pintu kamar mandi dibanting dan saat
itu pula keluarlah seorang Tia dari tempat yang menyejukkan tersebut. Tak lama
setelah Tia keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Tia mendengar suara teriakan.
“Tia cepat !!!”
Ternyata itu suara mama yang memanggilnya. Tia pun langsung
membalas teriakan mamanya dengan nada yang lebih tinggi
“Tunggu sebentar ma..!”
Bersamaan dengan teriakan itu pula Tia
langsung bergegas berpakaian dan memasukkan buku-buku yang akan di bawa nya
untuk kuliah. Harus cepat, kata Tia dalam hatinya.
Selesai ia berpakaian serta membereskan
tempat tidur nya, Tia bercepat-cepat keluar dari kamar peristirahatan. Dengan
langkah cepat Tia turun tangga, tetapi karena terlalu cepat menuruni tangga
tersebut. Ia hampir tergelincir, untung saja Tia kuat memegang pegangan pada
tangga tersebut, sehingga ia dapat berdiri tegak lagi. Tia tidak mau mengulangi
keselahan yang sama untuk kedua kalinya. Lalu ia berjalan dengan hati-hati
menuruni tangga itu.
Sesampainya di ruang makan. Terlihat papa,
mama dan kakaknya Rendi sedang menunggu Tia untuk sarapan.
“Pagi pa, ma…!” sapa Tia ceria.
“Pagi sayang..” jawab orang tuanya kompak.
Mama nya pun menyambung pembicaraan,
“Tuh kan, udah mama bilangin. Jangan suka
males bangun. Gini kan jadinya” kata mama Tia sembari mengoleskan selai pada
roti untuk sarapan Tia pagi hari.
“Aduh, Mama. Biasalah ma, anak kuliahan
ini banyak yang harus dikerjain tugasnya..” jawab Tia dengan sedikit senyuman.
Seperti biasa, Tia sekeluarga pun sarapan
pagi dengan susu dan roti-rotian. Belum selesai sarapan pagi. Rendi bertanya pada papa nya.
“Pa, gimana dengan beasiswa….” ujar Rendi
dengan nada sedikit takut.
Belum selesai kakaknya berbicara. Papa nya
langsung menjawab dengan suara yang sangat menentang.
“Tidak..!!”
“Kenapa sih Pa?” Tanya rendi membalas
suara tentangan papanya.
“Papa lebih senang kalo kamu ikut Papa ke
kantor buat nerusin usaha Papa ini ketimbang kuliah yang gak jelas arah dan
tujuannya..” kata papanya dengan nada yang sedikit lebih rendah dari sebelumnya.
Tia pun langsung ikut berbicara..
“Tapi pa, kakak kan kurang pandai dalam
bidang bisnis..”
“Ya, kalau gak dibiasain dari sekarang,
mau kapan lagi? Siapa lagi yang bakal nerusin usaha papa kalau bukan kakak
kamu, Rendi??” Jawab papanya dengan sedikit emosi.
Akhirnya Tia pun terdiam mendengar
perkataan papanya. Sarapan pagi pada hari itu seperti berubah menjadi sebuah
medan perang dingin pada Perang Dunia II. Kakak Tia, Rendi sangat ingin sekali
melanjutkan kuliahnya di luar negeri karena ia mendapatkan beasiswa S2 nya di Australia
dari EMINEF (The Australia-Indonesian Exchange Foundation). Namun, papanya
tidak mengizinkan Rendi untuk meneruskan kuliahnya. Papanya ingin Rendi
membantu dan meneruskan perusahaan papanya.
****
Sesampainya di kampus, Tia langsung bergegas
pergi ke ruang kuliahnya karena tampaknya ia telah terlambat. Begitu Tia berada
di depan ruang kuliahnya, Tia langsung mengetuk pintu.
Tok-tok-tok.
Bersamaan dengan suara ketukan pula, Tia
mengucapkan.
“Permisi pak….”
“Silahkan masuk…” jawab dosen yang ada di
ruangan itu dengan suara lantang.
“Mengapa kamu terlambat ??” Tanya dosen
berjenggot tersebut dengan raut muka sedikit ditekuk, persis seperti polisi
yang tadi ditemui Tia di jalan menuju kampus.
“Maaf pak, tadi macet di jalan..” kata Tia
dengan suara merendah.
“Kali ini saya maafkan kamu karena Cuma
terlambat 10 menit. Kalau begitu silakan duduk..” kata dosennya.
Dengan gaya tomboynya, Tia pun duduk di
ruangan tersebut. Setelah ia menempatkan diri pada baris kedua dari belakang di
kelas itu, Tia pun mendengar suara sahabat baiknya, Wiwin.
“Lo pasti bohong ya.. Tadi kan gak macet-macet
amat..” ujar Wiwin seraya membuka buku.
“Hehehehe,, biarin.. Dosennya kan nggak
tau juga..” jawab Tia dengan cengengesan.
Bagi Tia kuliah dengan dosen yang ini
memang sangat membosankan. Mata kuliah yang diajarkan oleh Pak Hendro merupakan
mata kuliah yang sangat ia benci. Setelah kuliah hampir satu jam, Tia pun
langsung teringat soal kejadian tadi pagi.
Mengapa
papa melarang kakak untuk kuliah di luar negeri ?? Tanya Tia dalam hati.
Saat itu juga pikiran Tia itu menghilang
karena mendengar suara ketukan pintu yang cukup keras dan munculah seorang
mahasiswa. Tia mengenali mahasiswa tersebut yang bernama Hansel. Mahasiswa
berperawakan tinggi, sedikit kurus dan berkuliat kuning langsat tersebut merupakan
mahasiswa dari jurusan lain di Universitas yang sama seperti Tia. Selama satu
semester ini, mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan dan Sistem Kesehatan
Masyarakat sering masuk pada kelas yang sama diakibatkan dosen yang mengajar
mereka sama.
Setelah kuliah berlalu selama 45 menit,
pak Hendro pun mematikan laptop yang sering dipakainya untuk perkuliahan. Lalu
pak Hendro langsung menulis sesuatu di papan tulis berwarna putih. Sebagian
mahasiswa bingung akan apa yang ditulis oleh pak Hendro. Namun setelah selesai,
mereka bersama-sama bergumam atas apa yang ditulis oleh pak Hendro.
****
Hansel Namanya
“Bapak sudah memutuskan untuk mengadakan kuliah lapangan. Hal ini bapak
lakukan karena jumlah pertemuan kita tidak cukup. Kalau masalah tempat dimana
kita akan mengadakan kuliah lapangan, bapak sudah memutuskan dimana tempatnya.
Sekarang terserah kalian bagaimana kalian membagi tugas dalam kelompok kalian.
Tetapi, saya mau Ilmu Kelautan dan Sistem Kesehatan tetap dipisah karena kedua program
studi ini tetap memiliki perbedaaan dalam hasil penelitian. Demikian. ”
***
Pada saat praktikum ke lapangan, Tia pun
di tunjuk sebagai ketua tim Sistem Kesehatan Masyarakat, sedangkan Hansel dipilih sebagai ketua tim
penelitian dari mahasiswa Ilmu Kelautan. Sebagai ketua dari masing-masing kelompok, Tia sering berinteraksi dan bertukar pikiran
dengan Hansel.
Praktikum di lapangan itu hanya dilakukan
dalam satu hari, saat mau pulang. Hansel bertanya pada Tia.
“Tia, menurut kamu bagaimana kehidupan di
sini..??” ujar Hansel sembari melihat-lihat ikan yang ditangkapnya
sebagai bahan penelitian.
“Begitu deh. Mereka hidup dari mata
pencaharian mereka sebagai
nelayan. Tetapi kehidupan sangat menyedihkan. Ikan banyak yang tercemar,
Han. Banyak ikan yang menjadi racun bagi masyarakat yang menkonsumsinya. Sekarang di laut-laut Indonesia ini mulai
tercemar karena limbah pabrik jadi mereka mulai terganggu untuk hidup.” Kata Tia.
“Memang benar Tia. Laut-laut di Indonesia ini telah banyak
tercemar oleh limbah pabrik. Bila tidak segera di atasi, maka cepat ataupun lambat ekosistem laut Indonesia akan terganggu
dan para nelayan akan susah untuk mendapatkan ikan. Hal ini akan membuat
semua pihak rugi.” sambung Hansel.
Waktu
akhirnya menunjukkan pukul 16.00 WIB, pak Hendro langsung memanggil semua
mahasiswa didikannya tersebut melalui TOA. Akhirnya Tia dan Hansel masuk ke dalam bus, saat itu pula percakapan
diantara mereka terhenti. Bus pun melaju menyusuri jalan pulang.
***
Pilihan
Rendi
Malam itu, semua berjalan seperti biasa
kecuali pada kondisi cuaca serta keadaan hati masing-masing penghuni rumah.
Pada malam itu, Tia merasakan adanya aura yang dapat menyulut adanya perpecahan
antar keluarga itu, dan
sepertinya perasaan Tia benar.
“Gimana Ren? Tawaran Papa kemarin, apakah
kamu sudah mendapatkan jawabannya?” tanya Papa Tia sambil menyeruput
segelas kopi hangat yang dibuatkan Mama Tia malam itu.
“Papa sih sangat berharap kamu menerimanya
ren. Karena kamulah satu-satunya anak laki-laki Papa dan hanya kamu yang Papa yakin bisa
meneruskan usaha Papa. Kan kamu tau sendiri adik kamu itu
perempuan sedangkan kamu laki-laki, jadi Papa sangat.....” kalimat tersebut
terputus oleh hentakan majalah Rendi sebelum sempat diselesaikan.
“Pokoknya Rendi tetap gak mau meneruskan usaha Papa. Rendi tetep mau meneruskan kuliah Rendi pa dan Papa gak bisa melarang Rendi buat stop kuliah seenaknya” jawab Rendi kesal
sembari berdiri dari tempat duduknya sebelum.
Suasana pun menjadi tegang dikala seorang Papa dan anak sedang berbeda pendapat. Mama
dan Tia pun ikut terdiam tanpa ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut
mereka berdua. Terlihat raut wajah yang sangat kecewa pada Papa, setelah mendengar
kata-kata dari anak yang sangat diharapkannya itu. Namun Papa tidak menyerah
begitu saja Papa pun menanyakan alasan apa yang membuat Rendi tetap bersih
keras menolak tawarannya tersebut.
“Jujur Papa sangat kecewa mendengar
ucapanmu tadi nak. Mengapa kamu bersih keras menolak permintaan Papa? Mengapa
kamu lebih memilih beasiswa itu daripada nerusin usaha keluarga kita?” tanya Papa Tia dengan
nada yang sedikit meninggi karena sedikit kesal dengan jawaban anaknya yang
notabene tidak memuaskan permintaan laki-laki tersebut.
“Maafin Rendi pa. Rendi ingin sekali membanggakan Papa, tapi saat ini Rendi ingin sekali
meneruskan kuliah Rendi. Saat
ini yang menjadi prioritas Rendi adalah kuliah setinggi mungkin semampu Rendi.
Rendi gak mau suatu saat Rendi nyesel karena gak bisa kuliah setinggi mungkin.
Pada suatu saat, Rendi bakal nerusin usaha Papa. Tapi nanti Pa, gak sekarang..” jawab Rendi dengan mata berkaca-kaca.
“KAPAN?
SETELAH PAPA MATI??” teriak Papa Rendi yang tentu saja mengagetkan seluruh isi
rumah mereka. Mama dan Tia pun hanya bisa diam dan terpaku
atas apa yang terjadi di depan mereka. Dan
selang beberapa saat Tia pun mengikuti kakaknya ke dalam kamar, dan di dalam kamar Tia pun berusaha dengan
hati-hati untuk berbicara dengan kakaknya.
“Kak Rendi, kenapa kakak menolak permintaan Papa? Apa salahnya kalo kakak kerja di perusahaan Papa? Toh
kakak gak disuruh jadi OB kan? Kan lumayan kalo lulusan S1 langsung jadi
direktur cabang..” ujar Tia
sambil duduk di samping kakaknya tersebut.
Namun Rendi dengan sifatnya yang keras itu
tetap tidak mengiyakan tawaran itu.
“Hey kakak dong-dong. Dengar gak sih apa yang Tia omongin barusan?”
Rendi hanya diam tanpa menanggapi
kata-kata adiknya, dan dia pun langsung menutup tubuhnya dengan selimut.
“Hahh.... dasar keras kepala!” dengan nada cukup keras Tia melontarkan
kata tersebut dan langsung meninggalkan kamar kakaknya.
Keesokan harinya, saat Tia akan pergi
kuliah, Tia menyempatkan diri untuk
sarapan pagi, tapi ada yang aneh pada meja makan yang biasa ia pakai
bersama keluarganya itu.
Tia mengamati sekitar meja makan itu, dan
ternyata benar ada yang berbeda, rupanya sang kakak, Rendi tidak tampak sarapan
bersama mereka, Tia berpikir pasti kakaknya tersebut masih tidur.
Lalu Tia pun pergi kekamar kakaknya, dan
emang benar ternyata Rendi masih tidur. “aduuh... kak Rendi kok belum bangun
sih, kakak lupa apa? Tia kan ada kuliah pagi nih.. (kebenaran pagi ini Tia ada
kuliah kimia dasar II yang gurunya killer alias tidak memberikan waktu bagi
siswa yang telat). Ayo cepat mandi kak.. Tia udah hampir telat nih”. Ujar Tia.
Rendi pun agak sedikit shock mendengar
teriakan adiknya tesebut. Dengan cepat Rendi langsung berdiri dan mengambil
perlengkapan mandinya.
Tinn...Tiinn..
Terdengar suara klakson mobil dari bawah,
Tia memberi tahu ke kakaknya untuk segera pergi. tanpa sarapan Rendi pun pamit
kepada orang tuanya dan langsung mengendarai mobilnya.
Setelah satu jam perjalanan, mereka pun
sampai. Dan berpisah karena mereka kan berbeda jurusan.
Setibanya dikampus seperti biasa Tia
menemui Wiwin. “hai win pagi banget kamu nyampe. “iya dong aku kan jarang
telat, beda ama kamu ya’.. hehe”. Wiwin bercanda.
Sambil menuju ruangan mereka, Wiwin
menanyakan kepada Tia mengenai konflik antara kakak dan Papanya. Karena Tia
sendiri sering berbicara dengan Tia mengenai masalahnya.
“Oh iya ya’ gimana konflik antara Papa dan kak Rendi?” Tanya Wiwin.
Dan
Tia menjawab “Yah begitulah Win keadaan semakin rumit. Kak Rendi dengan sifatnya yang keras itu tetap menolak permintaan Papa.”
desah Tia yang kelihatan begitu murung atas kejadian di rumahnya.
“Oh begitu ya. Ya udah, kamu yang sabar ya….
Eh Ya. itu Ibu nya udah dateng ayo kita masuk, ntar nggak bisa kuliah lagi kita..” tukas Wiwin kepada Tia seraya
mereka berdua berlari-lari kecil. Mereka
pun tertawa dan langsung masuk dalam
ruangan.
***
Akhirnya saat bagi Rendi untuk pergi
meneruskan beasiswanya pun sampai pada saatnya. Walaupun Rendi
melakukannya tanpa seizin dari Papanya, ia tetap nekat melanjutkan kuliahnya. Ia baru lega setelah Mamanya yang
berkata bahwa beliau akan mencoba untuk berbicara baik-baik kepada Papanya
Rendi. Sesampainya disana Sydney,
ia pun segera menuju asrama dimana
tempat dia akan tinggal.
Rendi menelusuri lorong demi lorong karena
asrama itu sendiri berbentuk persegi panjang sehingga banyak lorong, tempat itu
pun bernuanasa layaknya kampus luar negeri tidak seperti kampus di indonesia,
banyak sekali perbedaan. Setelah
cukup lama Rendi berjalan akhirnya kamar yang bertuliskan no 144 pun
ditemukannya, karena nomor 144 itulah yang akan menjadi kamarnya bersama
temannya, tetapi Rendi sendiri tidak tau siapa yang akan jadi teman sekamarnya
nanti..
Didalam kamar pun Rendi langsung merapikan
pakaiannya, dan Rendi pun berpikir dalam hati. Seperti apakah orang yang akan tinggal sekamar
denganku nanti? Ahhh semoga saja orangnnya baik hati dan bisa
diajak berteman, piker Rendi dalam hati. Setelah ia merapikan kamar tempat
tinggalnya dan membereskan segala sesuatunya, ia pun langsung memilih untuk
merebahkan badannya yang telah letih karena perjalanan yang sangat panjang dari
Jakarta – Sydney.
Setelah 3 jam berlalu Rendi pun terbangun.
Dan pada saat itu waktu menunjukkan pukul 15.30 waktu Australia.
Tok-tok-tok
Terdengar
suara seseorang mengetuk pintu kamar Rendi. Mendengar hal tersebut, Rendi sontak bangun dari tempat tidurnya
dan langsung menuju pintu depan kamarnya. Ternyata yang berdiri di depan pintu kamar Rendi adalah Weslyson, seorang cowok yang berwajah tampan dengan tinggi kira-kira 172 cm berambut hitam dan lurus. Dia adalah
seorang penerima beasiswa sama seperti Rendi dan juga ia berasal dari
Indonesia.
Setelah
cukup lama tinggal di Sydney, Rendi
dan Weslyson mengikuti kuliah
dengan rajin. Mereka banyak mengikuti banyak kegiatan yang berhubungan
dengan mata kuliah mereka, Pelestarian Lingkungan Laut.
Dan pada saat mereka selesai mengikuti
kuliah pada hari itu mereka berdua menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di
sekitar kampus. Mereka berkeliling dengan canda dan tawa, mereka memilih tempat
sekitar perpustakaan di
universitas mereka itu untuk beristirahat sebentar.
Sesaat setelah mereka duduk, Weslyson membuka pembicaraan dan
melancarkan pertanyaan,
“Oh iya Ren, aku belum tau
alasan kamu mengapa memilih melanjutkan S2 disini. Padahal kan disini jauh dari orang tua kamu?”
Rendi hanya diam.
“Eh kok kamu diam sih? Aku nanya, Rendi.” kata Weslyson sembari mengunyah roti yang
ada di tangan kanannya. Akhirnya
Rendi pun bersuara. Dia menjelaskan alasannya.
“Sebenarnya sih aku belum mendapatkan izin dari orang tuaku untuk meneruskan
kuliah disini. Papaku
menyuruhku untuk meneruskan usaha keluarga, karena aku anak tertua di
keluargaku. Namun aku belum
siap, Wes. Aku merasa belum cukup matang untuk melanjutkan
usaha keluargaku itu, aku
takut nantinnya aku hanya mempersulit usaha itu. Aku ingin setelah aku merasa
cukup matang, baru aku masuk ke dalam hal tersebut. Jadi sampai saat ini papaku tidak mengizinkan aku sudah kuliah disini.” ujar Rendi.
“Oh begitu ya…. Salut deh buat kamu
Ren. Kamu harus berusaha untuk membuktikan bahwa perkataan dan janji kamu
adalah benar”. Kata daniel.
“Eh kamu tadi bilang kamu anak tertua
emangnya kamu punya adik? Cewek apa cowok adik kamu?”
Tanya daniel bercanda.
“Iya aku punya adik. Cewek, Tia namanya. Dia masih kuliah di UNDIP
di jurusan Kesehatan Masyarakat.” Ujar Rendi.
“Kalo gitu boleh dong aku
kenalan ama adikmu.. hehe.” Tanya Weslyson sembari mengumbar
senyum-senyum genit.
Rendi pun berkata “Emang dia mau kenalan ama kamu? Kamu itu gak pantes
buat adik aku. Hahaha” Rendi pun meledek Weslyson.
“Eh kamu belum tau aja siapa Wesly sebenernya. Banyak cewek-cewek mengantri untuk mendapatkan hatiku.
Hahahaha” tawa Weslyson
keras.
“Ah gak mungkin!” teriak Rendi dan langsung berlari meninggalkan Weslyson.
“Eh sialan kamu Ren.
Awas ya kalo aku sampe dapet
adek kamu.. Hahahahaha”
Mereka berdua pun kembali ke asrama dan
beristirahat dikamar.
***
Rabu, 22 Oktober 2008 (Australia)
Rendi
membuka matanya dari tidur malamnya sehabis kemarin telah melakukan hal yang
sangat melelahkan. Mengerjakan tugas kuliah, menyiapkan bahan persentasi,
sampai harus membereskan rumahnya yang sangat berantakan bak kapal pecah di
Pearl Harbour. Kemarin, Weslyson pamit untuk menginap di kampus karena
dosennya, Mr. Thomkins, memberikan tugas kepadanya untuk mengamati biota laut
yang didapatkan setelah melakukan ekspedisi ke perairan Indonesia lebih
tepatnya ke pulau kecil di Selatan Indonesia, Pulau Natal. Mereka meneliti
berbagai macam biota laut khususnya kepiting merah yang banyak terdapat di
Pulau Natal tersebut.
Sehabis
merapikan tempat tidurnya, Rendi langsung mengarahkan langkahnya ke arah kamar
mandi. Ya, seperti biasa, Rendi melakukan “ritual” paginya yaitu berkaca di
kamar mandi, tetapi dalam jangka waktu yang sangat lama. Pernah sewaktu masih
di Indonesia, Tia sampai menggedor-gedor pintu kamar mandi karena Rendi melakukan
“ritual” ini, tak tanggung-tanggung, rekor terlama Rendi mencapai 20 menit
untuk melakukan hal ini. Alhasil, orang-orang di rumahnya, Ayah, Ibu, sampai
Mbok Niken kaget akibat gedoran Tia ke pintu WC. Sehabis melakukan ritual ini,
Rendi pun melangkah kecil menuju bath tub,
langsung menghidupkan air dan berendam sambil bersenandung kecil.
¯¯¯
Sesampainya
di kampusnya yang tercinta, Rendi pun langsung masuk ke kelasnya karena hari
ini ia harus mengikuti 3 mata kuliah sekaligus dalam sehari. Untung hari ini gue bawa laptop, jadi waktu pulang
gue bisa browsing, pikir Rendi dalam hati. Beberapa menit kemudian, kelas
terisi penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang rata-rata merupakan orang
Australia asli alias bule semua, karena orang Indonesia yang berkuliah di kelas
ini, Program Studi Ilmu Kelautan di Australia hanya Rendi dan Weslyson. Pada
saat yang bersamaan, Mr. Gerrard masuk ke kelas dan disusul oleh Weslyson.
“Good
morning, class. Today we are going to start our subject about Ecotoxiology.
Just prepare your book please. Let’s start!”
Rendi
pun dengan gerak gontai mengambil buku bacaan besar berwarna biru yang mungkin
seukuran dengan laptopnya dari dalam tas. Setelah ia meletakkannya di atas meja
dan membuka halaman sesuai instruksi Mr. Gerrard, ia mendengar whisper-an dari Weslyson,
“Psstt..
Ren.. Ren..”
Dengan
seketika, Rendi pun menoleh pada Weslyson. Lalu dengan bahasa isyarat tubuh ia
mengangkat kedua pundaknya seolah berkata apa?
Setelah itu, Weslyson pun menyerahkan dua lembar kertas ukuran folio kepada
Rendi setelah kertas itu dilipat empat. Rendi yang menerima kertas itu pun
mencoba menerka-nerka apa isi dari kertas tersebut.
SAMPAI KAPAN LAUT
INDONESIA AKAN DIEKSPLOITASI OLEH NEGARA LAIN?
Begitulah
sepenggal judul dari kertas yang diberikan Weslyson kepada Rendi yang ternyata
kertas tersebut merupakan sebuah artikel on-line
yang diambil oleh Weslyson semalam di kampus dari internet. Dengan raut wajah
yang antusias, Rendi membaca artikel yang diberikan oleh sabahatnya tersebut.
Ya, memang Rendi orang yang nasionalis dan cinta tanah air. Hal ini dimulainya
semenjak kecil karena ia ingin sekali memajukan negaranya yang tercinta itu.
Bahkan ketika kecil, ia suka sekali berpidato di depan kedua orangtuanya
layaknya Bung Karno sedang berpidato untuk kemerdekaan Indonesia. Entah itu
tentang kemajuan bangsa, korupsi, bahkan pencelaan pada pemerintah pun telah
banyak dituang oleh Rendi pada pidato-pidato ciptaannya yang sampai sekarang
masih dibuatnya.
Artikel
tersebut telah menyita pikiran Rendi untuk belajar mata kuliah Ekotoksikologi
yang diampu oleh Mr. Gerrard, padahal notabene minggu depan ia harus menjalani
kuis yang sampai sekarang belum ada yang memecahkan rekor nilai A untuk mata
kuliah ini.
Setelah
menjalani 3 mata kuliah yang sangat panjang, membosankan, dan menyebalkan
akibat hari itu pikiran Rendi tersita oleh artikel yang dibawa Weslyson, ia pun
langsung memilih untuk menuju tempat terfavoritnya di kampus tersebut,
PERPUSTAKAAN. Kenapa perpustakaan?
Hal itulah yang pernah ditanyakan oleh Tia sewaktu Rendi menelepon Tia untuk
menanyakan keadaan keluarganya di Indonesia.
“Ya,
gimana ya. Maklumlah anak kost-kostan. Susah disini nyari duit. Gak enak juga
kakak make komputer perpustakaan karena perpustakaan tutup jam 3 sore waktu
sini. Jadi, mumpung disini ada hotspot,
kenapa enggak?”
Begitulah
kata Rendi kepada Tia. Setelah mata kuliah terakhir selesai, Rendi pun menarik
tangan sahabatnya, Weslyson, dan langsung menuju perpustakaan. Tetapi sebelum
menuju perpustakaan, mereka berdua berhenti di depan kafe kampus yang terletak
dua gedung sebelum perpustakaan untuk membeli persediaan makanan guna
“menyogok” perut mereka yang lapar. Setelah melahap dua bungkus roti dan satu
botol air mineral dingin, mereka pun langsung menempati corner favorit mereka di perpustakaan. Letaknya di luar ruangan
perpustakaan, namun tempatnya cukup cozy
untuk browsing walaupun sampai larut
malam.
“Wes,
gue jadi kepikiran sama artikel yang lo kasih sama gue pagi tadi. Kenapa ya
Indonesia mau aja digituin sama negara lain? Padahal lautnya punya kita, tapi
yang mengeksploitasi malah orang lain. Menurut lo gimana?”
Tanya
Rendi dengan raut wajah layaknya seorang cendikiawan. Lalu, Weslyson menjawab
setelah menyingkirkan mouse dari
tangannya,
”Yah,
begitulah Ren kalo di ngeri kita kurang menghargai pemberian yang dikasih
Tuhan. Semua jadi percuma. Apalagi, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten
dalam menangani laut-laut di Indonesia. Bayangkan, laut Indonesia yang seluas
itu, sumber daya alam yang kompeten dalam menanganinya hanya sedikit. Jelas aja
gak match. Therefore, there are a lot of corruptions among the governor. Jadi
gak ada gunanya. Ada sumber daya, tapi pendukunya gak ada. Taunya hanya perut
dan kantong.” Ujar Weslyson dengan nada agak sinis dan pesimis kepada Rendi.
“Belum
lagi kurangnya perhatian masyarakat kepada laut. Ditambah lagi banyak
perusahaan yang tidak peduli dan sembarangan membuang limbah pabrik mereka ke
laut tanpa memikirkan dampak dari perbuatan mereka.” sambung Weslyson sembari
melanjutkan game online-nya yang tadi
sengaja di pause untuk menjawab
pertanyaan Rendi. Mendengar jawaban dari Weslyson, Rendi pun hanya
mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju atas pendapat sahabatnya tersebut.
¯¯¯
Kamis,
23 Oktober 2008 (Indonesia)
Pagi
ini, adalah hari dimana dua program studi dari suatu universitas bergabung
dalam satu kuliah lapangan. Ya, program studi tersebut merupakan dua program
studi yang terkenal dari universitas ini, Sistem Kesehatan Masyarakat dan Ilmu
Kelautan. Hal ini sudah terjadi lama semenjak kedua program studi ini lahir di
universitas ini, karena SKM dan Ilmu Kelautan memiliki suatu kesamaan
pengajaran, yaitu kelestarian lingkungan, dan hal ini terkadang membuat SKM dan
Ilmu Kelautan mengadakan Kuliah Lapangan bersama.
Tia
sudah menyiapkan semua peralatannya untuk Kuliah Lapangan hari ini, mulai dari
alat tes pH air, alat kadar toksin dalam air, alat kandungan udara, dan lain
sebagainya. Hari ini, mahasiswa Sistem Kesehatan Masyarakat telah melakukan
perjanjian untuk berkumpul dengan mahasiswa Ilmu Kelautan di depan gerbang
universitas. Dengan semangat Tia menuruni tangga dan menghampiri ibunya yang
sedang duduk membaca Koran di ruang makan.
“Ma,
hari ini Tia mau KP. Pulangnya Senin kali ma. Tia pergi ya..”
Kata
Tia seraya menyambar dua potong roti tawar yang telah dioleskan selai oleh Mbok
Niken dan segelas susu coklat hangat. Lalu Mama Tia segera menutup korannya dan
menghampiri putrinya tercinta dan mencium keningnya,
“Hati-hati
ya nak. Jangan macem-macem lho. Kalo ada apa-apa telepon Mama atau Papa ya..”
Lalu
Tia hanya melempar senyum sebagai tanda ia mengerti akan wejangan Mamanya tersebut dan melambaikan tangan. Dengan berlari
kecil, Tia langsung masuk ke mobil Nissan X-Trail dan melaju cepat ke kampusnya
yang tercinta.
Sesampainya
disana, ia langsung bertemu dengan Wiwin, sahabat karibnya yang dikenalnya
sejak masuk universitas ini. Sejenak ia terdiam dan melayangkan pandangan ke
arah rombongan mahasiswa Ilmu Kelautan. Ia ingin mengecek apa semua telah
lengkap dan siap untuk berangkat ke daerah penelitian. Setelah mengabsen satu
persatu mahasiswa Sistem Kesehatan Masyarakat seangkatannya, ia lalu memberikan
absennya ke dosen pembimbingnya. Sekilas ia melihat bahwa Hansel ada di barisan
mahasiswa Ilmu Kelautan. Tampak bahwa mahasiswa berperawakan tinggi, rambut
cepak tentara dan kulit kuning langsat tersebut tengah melihat Tia kembali
sambil melempar senyumnya ke arah Tia.
Sepuluh
menit kemudian, rombongan mahasiswa ini pun berangkat dengan menggunakan empat
buah bus antar kota antar propinsi yang lumayan besar. Mereka langsung menuju
daerah penelitian yang berjarak cukup jauh, sekitar satu hari perjalanan dari
kota asal mereka. Mereka pun sampai di sana keesokan paginya. Setelah sampai
mereka langsung singgah di pondok-pondok rumah yang telah mereka sewa. Rumah
itu cukup untuk lima orang lengkap dengan kamar mandi dan difasilitasi dengan
televise dan lemari pakaian serta meja-lemari tempat menaruh barang-barang
berharga. Suasana di desa itu pun cukup nyaman. Desa tersebut merupakan desa
nelayan, keadaannya cukup bersih karena mereka rajin membersihkan
lingkungannya.
“Diharapkan
semua mahasiswa berkumpul dalam waktu 10 menit setelah meletakkan barang-barangnya dalam kamar.”
Ujar
Pak Hendro dengan suara baritone-nya ditambah dengan TOA yang sering dipakai
orang untuk berdemo. Lalu ia pun langsung duduk dibawah pohon kelapa yang
kelihatannya cukup rindang untuk tempat liburan. Kalau saja ini lagi liburan, ujar Tia dalam hati. Ia ingin sekali
mengajak keluarganya liburan seperti dulu Tia masih duduk di bangku SMP. Ya,
kesibukan ayahnya yang bekerja sebagai pemilik pabrik kertas PT. Global
Sejahtera Pulp and Paper membuat keluarga ini jarang dirumah. Apalagi semenjak
papa yang pulang-malam-pergi-pagi ditambah lagi permasalahan antara papa dan
Rendi yang menyebabkan Rendi nekat kabur ke Australia untuk melanjutkan studi S2-nya.
Tia rindu akan masa-masa dimana semua hari libur akan digunakan seefisien
mungkin dan papa akan selalu menyisihkan waktu untuk anak-anaknya.
Lamunan
Tia pun buyar setelah Pak Hendro memanggilnya untuk absen karena Tia merupakan
pimpinan regu Sistem Kesehatan Masyarakat sedangkan Hansel merupakan pimpinan
regu Ilmu Kelautan. Mereka pun langsung berjalan menuju tempat kasus yang
diberikan dosennya. Tia dan Hansel terkejut melihat dimana ada satu spot yang
cukup besar, cukup untuk satu kolam renang tetapi sudah mulai membesar sehingga
mencapai diameter 30 meter, yang berisi air laut berwarna hitam pekat dan
terdapat bangkai-bangkai biota laut.
“Ya
anak-anak. Silahkan meneliti daerah ini karena ini sekarang menjadi spot
perhatian atas pencemaran lingkungan khususnya lingkungan perairan asin. Tetapi
ingat, jangan sampai kalian berenang ke dalam limbah karena dikhawatirkan
beracun dan mengandung asam.”
Itulah
kata terakhir yang diteriakkan Pak Hendro menggunakan TOA (yang sepertinya)
kesayangannya. Dengan seketika Hansel mengambil sampel air dan sampel bangkai
makhluk hidup yang mati di spot tersebut lalu mengamatinya. Melihat kesigapan
Hansel dalam meneliti hal-hal ini, Tia pun hanya termangu melihat Hansel lalu
berpikir, apakah sebegitu excitednya Ilmu
Kelautan ini sampe Hansel sebegitu semangat gitu ngerjainnya? Namun
sepertinya Tia tak ingin berlama-lama dalam lamunannya dan segera mengambil
tindakan juga. Salah satunya adalah mencoba memotret lokasi kejadian pencemaran
lingkungan, keadaan perumahan nelayan, kehidupan sehari-hari nelayan dan lain
sebagainya. Lalu, Tia pun langsung berlari begitu melihat salah satu nelayan
melintas dari kejauhan. Begitu bertemu dengan nelayan tersebut, Tia langsung
meminta ijin untuk interview dan
langsung melayangkan beberapa pertanyaan. Pada pertanyaan terakhir, sepertinya
nelayan ini takut untuk menjawabnya. Lalu dengan nada kecil namun masih dapat
direkam oleh voice recorder milik
Tia, ia berkata, “Semua limbah ini Mbak, ada sejak mobil pembuang limbah itu
dateng. Itu mbak, mobil yang bertuliskan pete gelobal sejahtera p..p..pulp n
paper. Maaf ya mbak, saya ndak bisa bahasa inggris.”
…
…
…
¯¯¯
Jumat, 31
Oktober 2008 (Australia)
Pagi
hari ini, Rendi bangun pagi sekitar pukul 10.00 pagi waktu Sydney. Kenapa? Hal
ini disebabkan Rendi ingin lari pagi di pinggir pantai Sydney atau lebih
tepatnya dermaga. Ya! Sydney merupakan ibukota dari Negara Australia. Dan
karena letaknya dekat dengan laut, otomatis hal ini membuat Sydney merupakan
kota dengan dermaga terbesar di seluruh jagad Australia. Dan pagi ini, Rendi
berniat untuk mengawali harinya dengan berlari pagi. Toh gue juga udah lama gak olahraga. Mumpung ga ada mata kuliah,
lumayan buat jaga kesehatan. Begitulah pikir Rendi sejak kemarin setelah
kunjungan Weslyson yang notabene tetangga rumah sewanya. Dengan bercelana
pendek ala pelari, kaus polo shirt berwarna hitam, sepatu Nike Air yang
dibawanya dari Indonesia dan bermodalkan I-Pod hitam hadiah ulang tahun yang
diberikan oleh adiknya, ia pun melangkahkan kakinya kearah pintu rumahnya.
Setelah melakukan pemanasan seadanya, ia pun mulai melakukan lari-lari kecil
menuju dermaga. Pagi itu, suasanya nampak damai dan sepi diakibatkan cuaca
sedikit dingin karena musim sudah memasuki akhir dari musim gugur dan akan
memasuki musim dingin. Dan nampaknya, hal ini malah menggembirakan bagi Rendi
karena pada biasanya, pelabuhan akan ramai oleh anak-anak atau keluarga yang
sedang bermain-main di akhir pekan ini.
Setelah
puas berlari-lari selama kurang lebih satu jam, Rendi pun mencari tempat duduk
di pinggir pantai, ya kali ini benar benar pantai namun dengan versi pasir yang
lumayan pendek sebagai perbatasan daratan dan lautan, lalu duduk setelah
melakukan peregangan pada otot-otot kakinya. Sehabis ia meminum sebotol orange juice, ia pun dikejutkan dengan
getar handphone-nya.
Trrrtt-trrrrtt..
Siapa ya yang nelepon gue pagi-pagi gini?
Trrrttt-trrttt..
Nama
Tia-Bawel pun muncul di layar
handphone Rendi. Wah, pasti ada
apa-apanya nih. Ngapain Tia nelepon pagi banget dari Indonesia? Begitulah
pikir Rendi dalam hati. Setelah ia menekan tombol hijau pada handphonenya lalu,
“Kenapa
Ya? Kok pagi-pagi gini Tia nelepon kakak? Tumben..”
Tanya
Rendi sembari kembali meminum air dari botol air mineral yang dibawanya. Lalu
terdengar dari seberang telepon suara cemas dan gelisah. Hal ini tentu
menyebabkan Rendi semakin penasaran sekaligus bingung tentang apa yang akan
adik kesayangannya ini katakan.
“Kak..
Kakak.. Aku kecewa banget dengan Papa.”
Setelah
mendengar perkataan Tia, Rendi pun semakin bingung dan langsung meluncurkan
pertanyaan,
“Kenapa
kecewa? Emangnya papa kenapa?”
Lalu
Tia menjawab pertanyaan Rendi dengan nada yang sedikit meninggi.
“Papa
ternyata dalang dari semua kerusakan alam di pantai nelayan kak. Ternyata papa
seenaknya aja ngebuang limbah kertasnya ke pantai disekitar pabrik. Tia tau hal
ini setelah Tia kuliah lapangan dan dengar cerita dari nelayan.”
Mendengar
hal tersebut, Rendi langsung memuncratkan air mineral yang telah setengah
diteguknya. Tetapi, perlahan-lahan ia mampu menenangkan diri lalu menjawab,
“Ya,
kakak udah tau ini bakal kebuka akhirnya. Inilah alasan kakak pengen ngambil
program studi ini. Kakak udah penelitian kesana sewaktu kakak masih ngambil S1.
Awalnya kakak gak tau kalo itu karena pabrik. Tapi nelayan bilang itu karena
limbah.”
Lalu
Rendi berusaha melanjutkan perkataannya,
“Tia
udah ngomong dengan papa masalah ini?”
“Tia
udah ngomong kak. Tapi papa malah marah-marah dan marahin Tia. Ngomong Tia
masih kecil lah, gak tau apa-apa lah.. Tia hanya gak pengen nanti papa
kenapa-kenapa karena masalah limbah ini kak.”
Ujar
Tia sambil sedikit terisak karena tak mampu membayangkan apabila sesuatu
terjadi kepada papanya tersebut. Mendengar isak tangis adiknya, Rendi tak mampu
berkata apa-apa dan hanya mencoba untuk menenangkan Tia.
¯¯¯
Siang
itu terlihat Rendi tengah membereskan barang-barangnya. Koper berisi penuh
telah terpampang di depan pintu kamar Rendi. Isi lemari pakaian telah sebagian
dipindahkan ke dalam koper.
Weslyson
yang penasaran melihat Rendi bergegas, merasa penasaran.
“Lo
ngapain sih Ren? Sibuk banget kayaknya” tanya Weslyson penasaran.
Rendi
menoleh.
“Sepertinya
beberapa hari ini gue mau balik ke Indonesia, ada sesuatu hal yang harus gue
lakuin disana..” jawab Rendi yang masih sibuk berkemas.
“Emang
mau ngapain lo Ren? Yaa gue sendiri deh disini..” Weslyson menjawab lirih.
“Penelitian”
“Penelitian
apa? Misterius amat sih lo Ren..” Weslyson tambah penasaran.
“Gini,
perusahaan Bokap gue yang ada di Semarang sedang ada masalah. Gue harus segera
nolong perusahaan Bokap gue secepatnya”.
Weslyson
terdiam.
“Sepertinya
menarik! Gue ikut lo ke Indonesia ya!” perkataan Weslyson ini lebih tepatnya
disebut pernyataan dibanding sebuah pertanyaan.
“Tapi….”
Namun belum sempat Rendi menyelesaikan kalimatnya, Weslyson sudah menghilang.
***
Begitu
Rendi selesai bergegas, dibawah, pada depan asrama Weslyson telah berdiri siap
dengan pakaian rapi dan kopernya.
Seulas
senyum tersungging di bibirnya.
“Come
on, Gue udah nggak sabar untuk segera menuju Indonesia!” seru Weslyson girang.
Rendi
dan Weslyson bergegas pamit dengan ketua asrama. Dan berjanji mereka akan
segera kembali secepat mungkin.
Entah
kapan Weslyson memesan tiket, tetapi sekarang di tangan mereka telah terdapat
dua tiket penerbangan beserta paspor lengkap.
14
Suasana
pabrik PT Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang semula lenggang, tiba-tiba
dikejutkan oleh ribuan demonstran. Mereka membawa spanduk dan poster-poster
dengan tulisan yang bernada menghujat.
Bubarkan Global Sejahtera Pulp N’ Paper!!
Global Sejahtera Pulp N’ Paper pembunuh!!
Hancurkan kapitaliss!
Sebuah
mobil pick-up terbuka sebagi
komandonya. Ketua rombongan demo keluar dengan kaos oblong putih, celana jeans, sepatu kets, serta ikat kepala
bertulisan senada. Dengan gagahnya berdiri dengan mikrofon di tangan
menyuarakan hal yang senada.
“Saudara-saudara
sekalian! Sejak dahulu, yang namanya kapitalis itu selalu membuat kerusakan.
Mereka, dengan pabrik-pabriknya telah mengotori sungai-sungai tempat bermain
anak-anak kita, menebar racun dimana-mana! Mereka adalah pembunuh! Sekarang
Sembilan saudara kita meninggal karena keracunan merkuri! Demi keuntungan
berupa uang, mereka telah membunuh sesame manusia tanpa memikirkan keadaan
kita!” teriak lelaki ber-oblong putih polos itu, garang.
“Bubarkan
Global Sejahtera Pulp N’ Paper!!” teriak seseorang memprovokasi.
“Tahukah
kalian tindakan pemerintah? Mestinya mereka bertindak sebagai pelindung
masyarakat, seharusnya pemerintah segera dengan tegas menindak tegas pabrik
sialan ini!! Tetapi, nyatanya sampai sekarang, pabrik ini masih berproduksi!
Mereka ternyata benar-benar telah kehilangan hati nurani!”
“Bubarkan!!”
Polisi
huru-hara berloncatan dari truk, segera membuat pagar betis di depan pintu
gerbang PT Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang tertutup rapat demi menghindari
amukan masa. Kerumunan massa itu bergerak dengan teriakan yang semakin panas.
“Bakar
Global Sejahtera Pulp N’ Paper!”
“Bakar..bakar..bakar…!!!”
“Rakyat
bersatu, tak bisa terkalahkan!”
“Mana
pimpinannya si manusia serakah!”
Massa
semakin garang. Mereka membakar ban mobil. Asap mengepul hitam. Anarkis. Dari
balik sebuah gedung, sepasang mata tertutup kacamata hitam memperhatikan demo
besar-besaran itu dari kejauhan. Ia tercenung, tampak terpukul dengan
pemandangan tersebut. Jika kacamata hitam itu lepas dari matanya akan terlihat
di baliknya basah.
Lelaki
tersebut menghela napas.
Dia
adalah Hansel.
Disisi
lain, Daniel mendapatkan sepucuk surat yang barusan diberikan oleh pengawalnya.
Parasnya memucat, berseling dengan wajahnya yang memerah padam. Pemerintah
mencabut izin usaha PT Global Sejahtera Pulp N’ Paper!
Keputusan
tersebut serasa seperti seperti petir yang menggelegar disiang bolong.
“Pak,
ini surat pengunduran diri Saudara Rukman Suparman,” seperti tak melihat
ekspresi terkejut dari mata Daniel.
“Rukman?”
Sebuah
SMS ia terima dari seseorang kepercayaannya.
<<Rukman bergabung dengan Bondan.
Mereka ada di balik semua ini.>>
Rukman
adalah Direktur Utama Global Sejahtera Pulp N’ Paper. Mendadak sepasang mata
Daniel membesar. Ada sesuatu yang aneh pikirnya. Jantung Daniel berdebar
kencang dan ia merasakan seluruh tubuhnya kejang, kemudian tubuhnya roboh dan
dunia terasa gelap.
Pengawalnya
terperanjat melihat bosnya tak sadarkan diri di sandaran kursinya, pingsan.
“Panggil
ambulans. Cepattt!!”
15
Papa masuk rumah sakit!
Ini
bukanlah sandiwara. Ia telah dihempaskan pada sebuah petualangan pilihan yang
sangat ruwet. Anak yang masih dengan kerasnya menolak melanjutkan bisnis yang
telah lama di binanya, sampai ke masalah-masalah kompleks yang terjadi
akhir-akhir ini. Bagaimanapun, struktur saraf yang menyusun aktivitas emosi di
tubuh masih berjalan normal. Maka ia pun merasakan tusukan-tusukan perasaan,
yang menciptakan nyeri yang luar biasa. Nyeri yang menyayat. Ia tak mampu
menerjemahkan sakit hatinya itu dalam bentuk apa pun.
Tia
termenung di sebuah sudut ruang yang kumuh. Wajahnya tertekuk, bibirnya
mengatup rapat, seakan ingin memproklamirkan kegelisahan yang teramat sangat.
Rambutnya acak-acakan, seakan telah beberapa minggu tidak tersisir. Wajahnya
pucat, seperti bulan kesiangan.
Gadis
tersebut memejamkan mata. Sedih.
Tentu saja. Ia sibuk berpuisi dengan
angannya. Berjalan lunglai melewati jalanan yang ramai. Sebuah Kijang tiba-tiba
berhenti tepat di depannya. Pintu terbuka, lalu keluar dua orang lelaki. Tanpa
pendahuluan dan basa-basi, sang lelaki itu mendadak menangkapnya, meringkus
tubuhnya dan memaksa Tia untuk segera masuk ke dalam mobil.
Tia
kaget. Ia mencoba teriak sekeras mungkin, namun jemari lebar sang penculik
segera menutup erat mulutnya.
Ia
pun hanya bisa menjerit tertahan.
Orang
yang lalu lalang sebenarnya melihat kejadian ini. Daripada waktu mereka tersita
untuk sebuah urusan yang barangkali tidak penting bagi kehidupan mereka, mereka
lebih memilih menghindar.
Dan
penculikan itu pun berlangsung sukses.
***
Tia
masih tidak mengerti, mengapa ia tiba-tiba diculik. Matanya segera memandangi
dengan jelas siapa kedua lelaki yang baru saja menculiknya itu.
“Lepaskan
saya! Lepaskaaaan!!” teriak Tia, setelah bekapan mulutnya dibuka.
Tetapi
kedua lelaki tersebut sibuk memperhatikan jalan. Mereka bahkan tersenyum geli.
“Kalian
ini siapa sih? Apa maksud kalian memperlakukan gue seperti ini, hah!?”
“Kami
hanya utusan kok! Tenang saja..,” ujar si sopir.
Tia
kesal. “ Akan gue laporkan kalian pada polisi.”
“Silahkan
saja lapor, nona ingin tau siapa yang mengutus kami untuk menculik?” lagi-lagi
mereka tersenyum geli.
“Tentu
saja!” jawab Tia ketus.
“Bos
kami kangen, ingin bertemu dengan anda!”..
Lima
menit kemudian.
“Itu
bos kami!” teriak salah satu dari mereka pada seseorang yangberdiri didepan
teras rumah.
Hansel!
***
“Apa
sih pake acara culik-culikan gini?!” teriak Tia, marah.
Hansel
tersenyum tipis, “Gue pengen lo denger kesaksian dia!” sambil menunjuk seorang
lelaki yang terduduk pasrah di sofa.
“Dia
adalah Ir. Safrizal sebagai Direktur produksi Global Sejahtera Pulp N’ Paper
yang baru. Dialah sang aktor yang bermain cerdik dalam kasus ini, meskipun dia
bukanlah pemeran utamanya. Berceritalah pak Safrizal!”
Lelaki
itu mengangkat wajahnya.
“Ss..
saya di paksa. Keluarga saya diancam akan dibunuh jika tidak mau melaksanakan
rencana ini.” Safrizal menghela napas panjang.
“Ini
semua berawal dari permainan kotor para pengusaha. Mereka sulit menumbangkan
dominasi Global Sejahtera Pulp N’ Paper yang begitu kuat. Beberapa pabrik pulp
dan kertas didirikan, namun bangkrut karena pemakai produk lebih tertarik pada
Global Sejahtera Pulp N’ Paper. Akhirnya mereka membuat scenario. Saya hanya
sebagai kacung pelaksana.
“Bagaimana
sekenario yang mereka susun?” Tanya Hansel.
“Pertama,
harus dirancang adanya pencemaran air merkuri di laut Natal. Lalu juga harus
ada LSM yang membela para korban”.
“Berarti,
kebocoran sistem pengelolaan limbah di Global Sejahtera Pulp N’ Paper itu memang di sengaja kan?!” Tia tak dapat
menahan emosinya.
Safrizal
hanya menunduk, merasa bersalah.
Tia
berdiri mematung, membisu, ia benar-benar shock.
Ringtone
Hp Tia berbunyi.
Sebuah
SMS. “Bentrok massa semakin menjadi”..
“Bondan
memang pesaing bisnis papa dari dulu yang ada di balik semua ini!”, Tia dan
Hansel bergegas pergi ke pabrik, sebelum amukan semakin menjadi.
***
Bentrok
ternyata sudah begitu parah. Massa yang datang belakangan menyerbu para
karyawan dengan bringas, sepertinya telah disengaja. Ratusan karyawan, terutama
karyawan wanita mengalami cidera. Mereka menjerit panik. Ratusan polisi telah
diturunkan, namun kericuhan belum berhasil diatasi dengan baik.
Tia
merasakan matanya basah. Tangisnya tak tertahan, ia berlari ke atas mikrolet
yang terparkir, mengambil TOA yang tergeletak.
“Berhenti..Berhentii!!
Berhenti semuaaa!!”teriaknya sambil berlinang air mata.
Namun
ricuhnya bentrokan, membuat orang-orang tak mendengar teriakan Tia.
Tiba-tiba
peluru nyasar melayangkan tembakannya tepat di lengan Tia.
***
Rendi
dan Tia menatap samar wajah Papanya Rendi yang terinfus di rumah sakit.
“Tia..Rendi..”
desah lelaki separo baya yang tergeletak lemas di ruang ICU. Daniel yang
perkasa, kini terkulai lemas karena stroke.
“Mendekatlah
kemari sayaangg..”
“Papaa..,”
tiba-tiba Rendi jatuh bersimpuh di tepi ranjang. Sepasang matanya basah, ia
mencium telapak tangan sang papa yang telah lama tak berjumpa.
“Maafin
Rendi..”
Dengan
gemetar, diusapnya rambut Rendi.
“Maafkan
papa Ren.. Apapun yang kamu lakukan, papa akan tetap sayang sama kamu.. kamu
anak kebanggaan papa.. “
“Setelah
papa sembuh, papa janji akan mengizinkan kamu untuk tetap meneruskan kuliah
disana. Karena papa sekarang sadar, akan pentingnya pengetahuan kelautan untuk
masyarakat kita..”
Tia,
Weslyson dan Hansel yang ikut membesuk saling tatap dan ikut merasakan.
***
“Dek, kakak tadi
ngirim email ke emailnya kamu..”
Pesan singkat
tersebut dibaca Tia, siang hari itu.
Bergegas, dengan
mencolokkan modemnya Tia membuka Laptop dengan gambar ungu disampingnya. Laptop
kesayangan dari kakaknya.
Situs www.yahoo.com dibuka.
Tia Log In membuka emailnya.
Benar.
Disana terdapat
email dari Rendi54.
Dibacanya pelan.
Adikku
Tia tersayang..
Apa
kabarmu disana?bagaimana kuliahnya disana?
Semoga
lancar-lancar aja yaa.. J
Kakak
sangat senang mendengar kabar kalau kesehatan Papa sudah mulai membaik.
Keadaan
pabrik Papa yang mulai membaik.
Sampaikan
terima kasih kakak untuk Papa ya,
Karena
Papa akhirnya sekarang sudah mengizinkan kakak untuk tetap meneruskan kuliah
serta penelitian kakak.
Tia,
sekarang kakak sedang meneliti biota laut di Negara kita serta meneliti
batas-batas territorial Negara kita yang semakin dipersempit.
Sebenarnya
fakta ini sudah lama diketahui oleh pemerintah.
Tetapi
tidak pernah ada tindakan tegas dari pemerintah untuk mengambil kebijakan atas
peristiwa ini. Jika dibiarkan begini terus, maka lama-lama daerah territorial
dan biota laut di Indonesia akan hilang dan semakin menyempit.
Kakak
disini berusaha untuk terus meneliti dan mengumpulkan bukti-bukti yang konkrit mengenai masalah ini
agar masyarakat kita dapat melestarikan biota laut dan menghentikan
penangkapan-penangkapan illegal sumber daya laut yang ada di laut kita.
Dan
semoga pemerintah dapat segera bertindak tegas untuk menentukan batas-batas
territorial Negara kita.
Kakak
harap kamu bisa lebih perduli terhadap lingkungan sekitar, karena jika jika
bukan kita sebagai generasi muda, siapa lagi?
Salam sayang,
Rendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar