Dr. Fauziyah, S.Pi
Revolusi Biru Yang Patut Ditegakkan
Terkadang, susah sekali mencari dosen yang tidak ditakuti oleh
mahasiswanya. Hal ini disebabkan oleh ketakutan mahasiswa akan ketersinggungan
dosen-dosen. Begitu juga hal ini berlaku bagi dosen yang bernama Dr. Fauziyah,
S.Pi, dosen Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya. Banyak yang berkata bahwa dosen kita
yang satu ini termasuk dosen yang perfeksionis dan lumayan “killer”. Tetapi, kabar burung yang
didapatkan oleh kami dipatahkan setelah kami melakukan wawancara terhadap
beliau.
Buk Ozi, begitulah panggilan dari dosen cantik yang lahir 35 tahun yang
lalu tepatnya pada tanggal 31 Desember
1975 di Cirebon. Ibu dari seorang anak berumur 4 tahun ini menghabiskan masa
SMA nya di kota kecil bernama Cirebon. Sampai suatu saat, guru pembimbing
(Bimbingan Konseling) mengajukan usul Program Studi Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor (IPB) sebagai tempat yang tepat untuk melanjutkan langkah pendidikannya.
Iseng-iseng berhadiah, beliau memilih Program Studi Ilmu Kelautan dalam
pilihan pendaftaran UMPTN. Tanpa di sangka, beliau secara resmi menjadi
mahasiswa Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994. Beliau
mengakui, bahwa mata kuliah Eksplorasi Sumber Daya Hayati Laut merupakan mata
kuliah terfavorit selama kuliah S1 di Institut Pertanian Bogor. Beliau
menyelesaikan Strata 1 di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 dengan
skripsi yang berjudul Efisiensi Teknis
Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Naga) di Perairan Cirebon. Selesai
menyelesaikan pendidikan S1 nya, karena prestasinya Bu Ozi dapat langsung melanjutkan
ke pendidikan S3. Dengan membuat disertasi yang berjudul Identifikasi, Klasifikasi, dan Struktur Kawanan Ikan Lemuru Menggunakan
Deskriptor Akustik di Perairan Selat Bali. Mengapa Bali? sekalian
jalan-jalan tuturnya sambil tersenyum.
Penasaran, kami menanyakan pendapat Bu Ozi mengapa Program Studi Ilmu
Kelautan di Universitas Sriwijaya ini tidak begitu dikenal oleh masyarakat
dibandingkan dengan Program Studi Budidaya Perairan dan Teknologi Hasil
Perairan. Pertanyaan ini “menggelitik” dosen mata kuliah Akustik Perikanan dan
Penangkapan Perikanan. Beliaupun menjawab bahwa hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Ilmu Kelautan. Paradigma “divide et ampere” telah berkembang di
tengah masyarakat Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Pengetahuan
masyarakat bahwa laut itu berbahaya, laut pun juga di nilai sebagai alat
pemisah antar wilayah di Indonesia. Padahal pada kenyataannya laut Indonesia
merupakan salah satu sumber kekayaan
baru bagi negara-negara seperti Singapura dan China. Mulai dari terumbu karang,
ikan hias, komoditi ikan konsumsi, hingga mangrove.
Terhadap prospek Program Studi Ilmu Kelautan kedepannya, beliau berharap
agar para mahasiswa dapat membantu meningkatkan prestasi Program Studi Ilmu
Kelautan yang dari akreditasi C menjadi akreditasi A. Hal ini dapat diwujudkan
bila meningkatnya jumlah mahasiswa yang masuk, peningkatan mutu IPK mahasiswa,
kestabilan mahasiswa yang lulus dengan yang masuk, serta adanya peningkatan
kualitas dosen melalui jurnal dan penelitian.
Pada akhir wawancara, beliau berpesan kepada mahasiswa ilmu kelautan
harus belajar secara SMART! Smart yang dimaksud adalah pintar memahami dan
mengerti, bukan hanya sekedar membaca buku, karena prospek kerja kelautan di
Indonesia semakin cerah.
Dari kiri : Hansel Simanjuntak, Destri Rizki Arifellia, Dr.Fauziyah,S.Pi, Mutia, Franky Marendi (2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar